Ketua tim, Ganden Supriyanto, menerangkan, dalam prosesnya, material yang digunakan adalah campuran graphene oxide dan Fe3O4 (magnetit, Red). Campuran bahan tersebut, saat dikenakan pencemar organik dan ditambah sedikit hidrogen peroksida yang berfungsi sebagai inisiator akan menghasilkan radikal hidroksil (.OH) yang sangat reaktif.
"Semua senyawa organik berbahaya yang dihasilkan sebagai limbah itu bisa didegradasi," ujar Ganden mengutip siaran pers UNAIR, Rabu, 14 April 2021.
Ia mengatakan, keuntungan degradasi menggunakan teknik Fenton like process ini yaitu tidak mengenal zat kimianya toksik bagi bakteri atau tidak. Ini berbeda dengan pengolahan secara biologis. "Degradasi secara biologis sulit dilakukan kalau limbahnya mengandung zat organik yang toksik," tutur kosultan Instalasai Pengolahan Air Limbah (IPAL) tersebut.
Baca: Yuk, Mengenal Beragam Teknologi di Balik Pembuatan Vaksin Covid-19
Ganden menuturkan, bahan yang digunakan untuk graphene oxide terbuat dari limbah organik yang ada di sekitar lingkungannya. Misalnya sekam padi, jerami padi, sampah ranting dan daun kering, gergajian kayu, bonggol jagung, dan juga dari limbah palet.
"Limbah-limbah itu banyak mengandung unsur karbon. Graphene oxide itu dibuat dari unsur karbon. Jadi sekalian juga kita bisa memanfaatkan sampah organik yang selama ini biasanya tidak dimanfaatkan dan bahkan dibakar," jelas dosen Kimia Analitik dan Kimia Lingkungan UNAIR itu.
Penelitian yang telah dilakukan dalam skala laboratorium selama dua hingga tiga tahun ini, dalam mencapai titik atau kondisi optimum degradasinya tidak membutuhkan waktu sampai 45 menit. Hanya dalam 30 menit, lanjutnya, limbah cair yang telah didegradasi lebih dari 90 persen bisa langsung dibuang di lingkungan. Hal itu karena proses ini tidak menghasilkan endapan, sehingga air yang dihasilkan jernih dan tidak mengandung zat-zat pencemar.
Perlu diketahui bahwa degradasi senyawa organik menggunakan teknik Fenton konvensional menghasilkan endapan ferri hidroksida (Fe(OH)3). Hal ini bisa menimbulkan masalah baru.
Ganden mengungkapkan, telah dilakukan uji coba berskala laboratorium bersama salah satu mitra dari Pasuruan. Diketahui, pabrik tersebut menghasilkan fenol sebagai limbah dengan konsentrasi yang sangat tinggi lebih dari 100.000 part per million (ppm). Saat diuji coba didapati hasil sangat bagus yakni 90 persen telah didegradasi.
Selain itu, uji coba juga dilakukan pada beberapa limbah zat warna tekstil. Seperti warna merah dari rhodamin B, warna kuning dari metanil yellow, atau misalnya zat warna golongan senyawa azo. Setelah diuji coba, hasil degradasi yang didapat rata-rata di atas 90 persen.
Ganden menjelaskan, secara teoritis tidak ada yang hilang dalam proses penggunaan bahan. Bahan yang telah dipakai dapat terus digunakan. Sifat reusable ini karena bahan graphene oxide dan Fe3O4 tergolong dalam senyawa yang bersifat magnetik dan proses pemisahannya dari larutan limbah sangat mudah.
Dengan adanya penelitian ini, Ganden berharap dapat memproduksi graphene oxide dan Fe3O4 dalam jumlah yang banyak. Dengan begitu, ke depan pengolahan tidak hanya skala laboratorium tetapi bisa ke skala industri.
"Bahkan ada mitra dari perusahaan pabrik gula yang berminat untuk memproduksi graphene oxide dari bagas tebu," ujarnya.
Baca: Unair Optimistis Vaksin Merah Putih Dapat Diproduksi Akhir 2021
Ia menyebut akan juga membuat sistem pengolahan limbah yang nantinya bisa dipasarkan dalam bentuk paket pengolahan. Jadi, tim tidak hanya memproduksi graphene oxide dan Fe3O4 tapi sekalian dengan sistemnya, sistem IPAL.
Inovasi in diharapkan bisa mengatasi permasalahan lingkungan dari tahun ke tahun selalu menjadi perhatian, terutama masalah pencemaran air. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 46 persen sungai di Indonesia dalam keadaan status tercemar berat, 32 persen tercemar sedang berat, 14 persen tercemar sedang dan 8 persen tercemar ringan.
Mayoritas pencemar yang biasa dibuang di lingkungan mengandung senyawa organik berbahaya. Ada juga terkandung senyawa anorganik khususnya logam berat. Adanya kandungan berbahaya tersebut dapat mempengaruhi kesehatan bagi makhluk hidup yang ada di sekitar lingkungan tercemar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News