Menanggapi situasi ini, Guru Besar Teknik Geologi dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dwikorita Karnawati, menekankan kebijakan hunian sementara (Huntara) dan hunian tetap (Huntap) pascabencana harus dirancang berbasis riset kebencanaan. Menurutnya, kebijakan tersebut tidak boleh hanya bertujuan memulihkan kondisi sebelum bencana, tetapi harus mencegah terulangnya bencana di masa depan.
“Penataan hunian pascabencana harus memutus mata rantai risiko, bukan justru mengulang atau mewariskan bencana kepada generasi berikutnya,” ujar Dwikorita dikutip dari laman UGM, Selasa, 16 Desember 2025.
Ia mengingatkan, berdasarkan prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), potensi hujan ekstrem masih akan berlangsung hingga Maret–April 2026. Dengan demikian, risiko banjir bandang dan longsor susulan di Sumatra masih sangat tinggi. Oleh sebab itu, kebijakan hunian pascabencana harus terintegrasi dalam rehabilitasi dan rekonstruksi jangka panjang, termasuk pemulihan lingkungan secara menyeluruh.
Zona Rawan Menyimpan Memori Bencana
Dwikorita menjelaskan, banyak wilayah terdampak berada di kawasan kipas aluvial, yakni bentang alam hasil endapan banjir bandang pada masa lalu. Secara geologi, kawasan tersebut merupakan zona aktif yang menyimpan “memori bencana” dan berpotensi kembali terdampak dalam siklus puluhan tahun.“Jika kawasan ini kembali dijadikan hunian tetap, maka risiko bencana tidak dihilangkan, melainkan diwariskan,” tegasnya.
Kerusakan lingkungan di wilayah hulu dan daerah aliran sungai (DAS), lanjutnya, mempercepat erosi dan meningkatkan volume material rombakan yang terbawa saat hujan ekstrem. Akibatnya, periode ulang banjir bandang semakin pendek, dari puluhan tahun menjadi sekitar 15–20 tahun, bahkan lebih singkat bila pemulihan lingkungan tidak segera dilakukan.
Hunian Tetap Wajib di Zona Aman
Berdasarkan kajian geologi lingkungan, Dwikorita menegaskan wilayah yang pernah terlanda banjir bandang tidak layak dijadikan lokasi hunian tetap, terutama untuk permukiman jangka panjang. Kawasan tersebut seharusnya ditetapkan sebagai zona merah dan difungsikan untuk konservasi serta rehabilitasi lingkungan.Ia merekomendasikan agar pembangunan Huntap diarahkan secara tegas ke zona aman yang ditetapkan melalui pemetaan risiko geologi. Penetapan lokasi hunian harus disertai prasyarat pemulihan kerusakan lingkungan, khususnya di wilayah hulu DAS, sebagai langkah mitigasi utama agar bencana serupa tidak terulang.
Zona aman tersebut setidaknya berada di luar bantaran sungai aktif, memiliki jarak aman dari lereng curam, serta tetap mempertimbangkan akses air bersih dan layanan dasar lainnya.
Sementara itu, kawasan rawan masih dapat dimanfaatkan sebagai Huntara dengan sifat sementara dan batas waktu ketat, maksimal tiga tahun. Pemanfaatan tersebut harus disertai sistem peringatan dini yang andal, rencana kedaruratan yang teruji, penguatan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat, pembersihan material rombakan di hulu, penetapan zona penyangga berupa jalur hijau, serta pembangunan tanggul sungai yang berkelanjutan.
Mitigasi sebagai Keputusan Strategis
Dwikorita menegaskan, penataan hunian pascabencana merupakan keputusan strategis jangka panjang yang menentukan keselamatan masyarakat. “Jika pembangunan pascabencana mengabaikan karakter geologi dan memori bencana, maka proses pemulihan justru berpotensi menciptakan bencana baru di masa depan,” ujarnya.Ia menekankan, kebijakan Huntara dan Huntap harus berpijak pada ilmu kebencanaan, riset geologi, mitigasi risiko, pemulihan lingkungan, serta tanggung jawab antargenerasi agar pemulihan tidak hanya cepat, tetapi juga aman dan berkelanjutan.
Baca Juga :
Dewan Profesor USK Kirim Surat Terbuka ke Presiden Prabowo Desak Buka Akses Bantuan Internasional
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News