Terdapat kesenjangan yang cukup lebar antara jumlah invensi yang sudah masuk tahap purwarupa (prototype) dengan produk inovasi yang dapat dihilirisasi dan komersialisasi. Kesenjangan inilah yang membuat para inventor kerap terjebak di dalam kondisi yang dalam dunia riset dikenal sebagai 'lembah kematian' atau valley of death.
Lembah kematian ini telah membuat banyak produk yang dihasilkan para inventor gagal menjadi produk inovasi dan tidak bisa masuk tahap komersialisasi. Hal ini, terjadi karena tidak adanya fasilitasi berupa pembiayaan maupun kebijakan dari pihak manapun.
Kendala yang dihadapi inventor dalam proses hilirisasi produk selama ini adalah keterbatasan dana. Akibatnya, hasil temuan para inventor banyak yang terhenti di tahapan kesiapanterapan teknologi atau Technology Readiness Level (TRL) 7.
Padahal, industri biasanya hanya mau bekerja sama dengan para inventor yang temuannya sudah berada di tahapan TRL 8-9. Sementara itu untuk mencapai TRL 8-9 ini dibutuhkan biaya, waktu, dan tenaga yang besar.
"Jadi memang tidak semudah yang dibayangkan meloncat itu (ke tahapan hilirisasi dan komersialisasi) ya. Karena dari proses setelah hasil penelitian itu dihasilkan bentuknya biasa prototype atau konsep atau rancangan untuk kemudian bisa dijadikan produk komersial yang punya nilai tambah tinggi. Itu panjang sekali prosesnya," kata Mendiktisaintek, Satryo Soemantri Brodjonegoro saat wawancara khusus dengan Medcom.id, dikutip Sabtu, 7 Desember 2024.
Baca juga: Kemendiktisaintek Bakal Punya 2 Dirjen Baru, Ini Bocoran Sosok dan Tugasnya |
Satryo mengatakan, sebuah hasil riset masih harus diinvestigasi apakah telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. "Jadi, misalnya setelah ada hasil riset kemudian harus diinvestigasi kira-kira dibutuhkan masyarakat tidak? Kalaupun dibutuhkan, apakah memang seperti itu atau ada perubahan-perubahan peningkatan. Katakanlah topiknya sudah cocok, masyarakat butuh, berarti harus dibuat produk ini, kan?" jelasnya.
Pembuatan produk itu pun, kata Satryo, tidak mudah karena akan berbeda antara membuat satu produk dengan buat yang massal. "Itu beda sekali. Jadi harus diupayakan juga business plan-nya seperti apa, yang bikin seperti apa, alatnya seperti apa, setelah itu ada yang mendanai enggak untuk proses ini," ujar dia.
Baca juga: Eksklusif! Mendiktisaintek Bicara Mahalnya UKT, Beasiswa LPDP hingga Integritas Kampus |
Karena industri yang nanti menggunakan pun, kata Satryo, tidak mau berinvestasi untuk mendorong riset melewati lembah kematian tersebut. Di sisi lain, peneliti pun tidak mungkin dapat mengembangkan produknya menjadi komersial.
"Jadi itu juga satu tahapan yang sangat sulit. Di sini pemerintah harus hadir. Di semua negara, proses hilirisasi riset jadi komersial itu tugas pemerintah. Bikin seperti ini berapa harganya, kalau harganya mahal sekali enggak ada yang beli," paparnya.
Menyadari proses yang tidak mudah tersebut, Kemendiktisaintek akan coba menggandeng beberapa institusi yang mampu melakukannya dari luar negeri. "Yang sudah punya pengalaman buat bantu kita mempercepat realisasi hasil riset untuk kepentingan industri," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News