Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah menjadi alat utama dalam diagnosis penyakit otak. Namun, kelemahannya adalah interpretasi citra MRI masih bergantung pada analisis manual oleh dokter.
“Untuk meningkatkan akurasi dan efisiensi, AI dapat berperan dalam mendeteksi pola penyakit yang mungkin tidak terlihat oleh mata manusia,” kata Dewinda dalam keterangan tertulis, Rabu, 16 April 2025.
Dalam risetnya, wisudawan program doktor dari Departemen Teknik Komputer ITS tersebut mengembangkan model deep learning dengan pendekatan deep-stacked ensemble learning. Pendekatan ini mengombinasikan beberapa jaringan saraf tiruan agar dapat menghasilkan prediksi lebih stabil dan akurat.
“Tidak ada satu model yang sempurna, tetapi kombinasi berbagai model dapat menciptakan sistem yang lebih kuat dan adaptif,” ujar dia.
Selain itu, inovasi ini juga menggunakan Explainable AI (XAI) agar dokter dapat memahami bagaimana AI mengambil keputusan. Dengan teknik Grad-CAM, model dapat menunjukkan bagian gambar MRI yang menjadi dasar diagnosis, sehingga meningkatkan kepercayaan dokter dalam menggunakan AI sebagai alat bantu.
“Bukan hanya soal akurasi, tetapi juga transparansi agar AI diterima dan dipercaya oleh tenaga medis,” papar dia.
Baca juga: Guru Besar ITS Manfaatkan Bioteknologi untuk Optimasi Produksi Metabolit Sekunder |
Dewinda mengatakan inovasi ini juga sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDG) poin 3 yang berfokus pada peningkatan layanan kesehatan. Tak hanya itu, pengembangan AI dalam dunia medis mendorong inovasi dan kemajuan teknologi kesehatan sesuai dengan SDG poin 9 mengenai industri, inovasi, dan infrastruktur.
Penelitian ini juga mendukung SDG 10 yang berfokus pada pengurangan kesenjangan. Hal ini dikarenakan inovasinya dirancang dengan akurasi tinggi agar dapat digunakan inklusif oleh berbagai kelompok demografis.
“Selain itu, model yang ringan memastikan teknologi ini tetap dapat diakses dan diterapkan, bahkan di wilayah dengan keterbatasan infrastruktur komputasi,” jelas dia.
Riset Dewinda juga telah diakui secara global. Hasil penelitiannya dipublikasikan dalam tiga jurnal internasional dan lima konferensi terindeks Scopus, termasuk di Springer Q1.
Dia juga berkesempatan menghadiri MICCAI Workshop di Kanada, konferensi paling bergengsi untuk AI dalam analisis citra medis, dan berhasil meraih Best Poster Presentation Award di ajang tersebut.
Selain publikasi ilmiah, bersama dosen pembimbingnya Prof Dr I Ketut Eddy Purnama ST MT, Dewinda juga telah menghasilkan dua paten nasional, yakni SICOSA2U dan iBrain2U yang berfokus pada sistem klasifikasi penyakit otak berbasis AI. Dia berharap melalui inovasi ini AI tidak hanya menjadi alat riset, tetapi juga dapat diterapkan dalam praktik medis nyata untuk meningkatkan kualitas diagnosis penyakit otak.
Ke depan, Dewinda berencana mengembangkan model yang lebih adaptif dengan dataset lebih luas. Hal itu agar AI dapat semakin akurat dalam berbagai kondisi pasien.
“Harapannya, penelitian ini dapat menjadi pijakan untuk pengembangan sistem AI medis yang lebih inklusif dan bermanfaat bagi dunia kesehatan,” ujar pengulas paper MIDL dan MICCAI tersebut optimistis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News