Ilustrasi. Medcom.id
Ilustrasi. Medcom.id

UU Tentang Kesehatan Jiwa Dinilai Memerlukan Aturan Turunan, Ini Sebabnya

Arga sumantri • 27 Desember 2021 15:24
Jakarta: Modernisasi, industrialisasi dan arus globalisasi yang cepat rupanya berimbas pada masalah biopsikososial masyarakat. Selain itu, arus komunikasi dan informasi yang sangat cepat turut memengaruhi kondisi kesehatan jiwa masyarakat.
 
Hal ini diungkapkan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA, Kementerian Kesehatan, Celestinus Eigya Munthe saat menjadi narasumber sebuah webinar yang digelar Universitas Gadjah Mada (UGM).
 
"Permasalahan inipun diikuti masalah-masalah lain berupa pemanasan global, isu-isu kesehatan lingkungan, kemiskinan, konflik dan bencana serta masalah-masalah hak asasi manusia, termasuk masalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Juga masalah pemasungan yang masih terjadi," ujar Munthe mengutip siaran pers UGM, Senin, 27 Desember 2021.

Belum lagi permasalahan kelainan biologis, termasuk masalahan pergaulan di kalangan muda, di antaranya seks bebas dan pernikahan dini. Kondisi ini menyebabkan beban pada masyarakat dan menimbulkan permasalahan kesehatan jiwa.
 
Dampak yang muncul adalah peningkatan orang dengan masalah kesehatan jiwa, orang dengan gangguan jiwa berat, seperti depresi, bipolar, psikotik akut, skizofrenia, dan skizoafektif.
 
"Sementara sesuai dengan siklus hidup, ada juga orang tua dengan demensia dan demensia alzheimer dan juga munculnya masalah bunuh diri yang juga menjadi perhatian Kementerian Kesehatan," jelasnya.
 
Baca: Peneliti UGM Kembangkan Alat Deteksi Dini Stunting
 
Menurut Munthe, kondisi ini tentu berdampak pada kualitas dan produktivitas sumber daya manusia secara keseluruhan dan menambah tinggi beban kesehatan. Masalah ini harus diselesaikan oleh berbagai lini dengan program lintas sektoral yang ada di setiap kementerian maupun lembaga.
 
"Dan saya kira perlu melibatkan masyarakat sebagai pelaku atau subjek dan bukan lagi objek dalam setiap kebijakan-kebijakan Kementerian Kesehatan dalam upaya meningkatkan penanggulangan kesehatan jiwa," terangnya.
 
Data Rikesdas 2013-2018 menyebut prevalensi gangguan mental pada penduduk berumur lebih dari 15 tahun cukup tinggi, ada sekitar 3,6 persen – 19,8 persen. Sementara, prevalensi depresi pada kelompok umur 15 tahun ke atas menurut provinsi lebih kurang antara 1,8 persen – 12,3 persen untuk setiap provinsi yang ada.
 
Dari data tersebut maka yang mendapatkan pengobatan depresi hanya 9 persen. 81 persen penderita depresi lainnya tidak mendapat pengobatan.
 
 

Demikian pula soal sebaran pasung di Indonesia, data Riskesdas 2018 dan laporan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza tahun 2019 menyebutkan bahwa permasalahan pasung masih ada.
 
"Meski ini telah kita upayakan dapat diatasi pada tahun 2009 sampai hari ini juga ternyata masih ada. Kita belum bisa mengeliminasi pasung dan ini tentunya memengaruhi kualitas hak asasi manusia," katanya.
 
Menyangkut masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif, data menyebut anak laki-laki dan perempuan yang mendapat gangguan masalah mental emosional dan depresi cukup tinggi per 39,9 persen dan 4-6 persen mempunyai keinginan atau memiliki pikiran untuk bunuh diri. Data juga menyebut 10, 6 persen kematian akibat bunuh diri terjadi pada usia antara 10 – 20 tahun.
 
"Dari data tersebut maka estimasi biaya kerugian yang muncul secara perhitungan ekonomi kesehatan akibat masalah narkotika sekitar 77, 42 triliun rupiah untuk pengobatan pribadi dan 7,2 triliun untuk kerugian biaya sosial yang timbul akibat penyalahgunaan Napza," paparnya.
 
Baca: Lebih Banyak Chef Pria Daripada Wanita? Ini Penjelasan Pakar IPB
 
Direktur Eksekutif YKIS Inang Winarso mengungkapkan pandemi covid-19 telah menyebabkan banyak orang mengalami keguncangan psikis karena situasi yang sangat mengejutkan. Pandemi yang sangat tiba-tiba begitu berdampak sangat luas.
 
Hal-hal semacam itu, kata Inang, perlu diantisipasi dengan regulasi. Regulasi dibutuhkan untuk arah kebijakan kesehatan jiwa di Indonesia agar dapat membantu masyarakat guna mengatasi, mengurangi risiko atau prevalensi gangguan kesehatan jiwa di Indonesia.
 
"Kita perlu bergandengan tangan untuk semua pihak, YKIS sangat yakin dapat sebagai perekat berbagai pihak dalam menetapkan desain besar kesehatan jiwa di Indonesia," terang Inang.
 
Secretary General Asian Federation of Psychiatric Associations Nova Riyanti Yusuf, menambahkan, secara historis RUU kesehatan Jiwa terlahir karena banyaknya pelanggaran hak asasi manusia terhadap ODGJ dan ODMK. Oleh karena itu, diperlukan best practice dalam proses perjalanan RUU Kesehatan Jiwa di DPR.
 
"Tidak hanya itu, diperlukan pula best practices dan evidence –based dalam implementasi UU No 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan untuk memastikan UU tersebut dapat dirasakan manfaatnya maka sangat perlu peraturan-peraturan turunannya," ungkapnya.
 
Pendapat senada disampaikan Ketua Peneliti Central for Public Mental Health Fakultas Psikologi UGM Diana Setiyawati. Menurutnya, perlu membuat koordinasi kesehatan jiwa yang terpadu dan membuat follow up UU No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
 
"Perlu pula mendorong pengalokasian dana daerah yang memadai untuk kesehatan jiwa agar menjamin tercovernya berbagai diagnosis gangguan jiwa ke dalam sistem BPJS," ujar Diana.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan