Demikian pula soal sebaran pasung di Indonesia, data Riskesdas 2018 dan laporan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza tahun 2019 menyebutkan bahwa permasalahan pasung masih ada.
"Meski ini telah kita upayakan dapat diatasi pada tahun 2009 sampai hari ini juga ternyata masih ada. Kita belum bisa mengeliminasi pasung dan ini tentunya memengaruhi kualitas hak asasi manusia," katanya.
Menyangkut masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif, data menyebut anak laki-laki dan perempuan yang mendapat gangguan masalah mental emosional dan depresi cukup tinggi per 39,9 persen dan 4-6 persen mempunyai keinginan atau memiliki pikiran untuk bunuh diri. Data juga menyebut 10, 6 persen kematian akibat bunuh diri terjadi pada usia antara 10 – 20 tahun.
"Dari data tersebut maka estimasi biaya kerugian yang muncul secara perhitungan ekonomi kesehatan akibat masalah narkotika sekitar 77, 42 triliun rupiah untuk pengobatan pribadi dan 7,2 triliun untuk kerugian biaya sosial yang timbul akibat penyalahgunaan Napza," paparnya.
Baca: Lebih Banyak Chef Pria Daripada Wanita? Ini Penjelasan Pakar IPB
Direktur Eksekutif YKIS Inang Winarso mengungkapkan pandemi covid-19 telah menyebabkan banyak orang mengalami keguncangan psikis karena situasi yang sangat mengejutkan. Pandemi yang sangat tiba-tiba begitu berdampak sangat luas.
Hal-hal semacam itu, kata Inang, perlu diantisipasi dengan regulasi. Regulasi dibutuhkan untuk arah kebijakan kesehatan jiwa di Indonesia agar dapat membantu masyarakat guna mengatasi, mengurangi risiko atau prevalensi gangguan kesehatan jiwa di Indonesia.
"Kita perlu bergandengan tangan untuk semua pihak, YKIS sangat yakin dapat sebagai perekat berbagai pihak dalam menetapkan desain besar kesehatan jiwa di Indonesia," terang Inang.
Secretary General Asian Federation of Psychiatric Associations Nova Riyanti Yusuf, menambahkan, secara historis RUU kesehatan Jiwa terlahir karena banyaknya pelanggaran hak asasi manusia terhadap ODGJ dan ODMK. Oleh karena itu, diperlukan best practice dalam proses perjalanan RUU Kesehatan Jiwa di DPR.
"Tidak hanya itu, diperlukan pula best practices dan evidence –based dalam implementasi UU No 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan untuk memastikan UU tersebut dapat dirasakan manfaatnya maka sangat perlu peraturan-peraturan turunannya," ungkapnya.
Pendapat senada disampaikan Ketua Peneliti Central for Public Mental Health Fakultas Psikologi UGM Diana Setiyawati. Menurutnya, perlu membuat koordinasi kesehatan jiwa yang terpadu dan membuat follow up UU No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
"Perlu pula mendorong pengalokasian dana daerah yang memadai untuk kesehatan jiwa agar menjamin tercovernya berbagai diagnosis gangguan jiwa ke dalam sistem BPJS," ujar Diana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News