Ilustrasi Cendrawasih. DOK PPID Jayapura
Ilustrasi Cendrawasih. DOK PPID Jayapura

Hewan Dilindungi, Perburuan Burung Cenderawasih Kuning-Besar Masih Marak

Renatha Swasty • 13 Mei 2025 16:37
Jakarta: Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan (FAHUTAN) IPB University, Ani Mardiastuti, menyebut kondisi burung cenderawasih kuning-besar (Paradisaea apoda) makin memprihatinkan. Statusnya sebagai satwa dilindungi tak terhindar dari target perburuan dan perdagangan ilegal.
 
Ani menjelaskan burung cenderawasih kuning-besar memiliki ukuran tubuh sedikit lebih besar dibandingkan dengan jenis cenderawasih kuning-kecil. “Burung yang jantan memiliki bulu yang sangat indah, sementara betinanya cenderung biasa saja, seperti burung gagak dengan warna kemerahan,” jelas dia, Selasa, 13 Mei 2025.
 
Burung cenderawasih kuning-besar hidup di pedalaman hutan Papua, berbeda dari spesies lain yang bisa ditemukan di pulau-pulau atau wilayah pesisir. Namun, ia mengungkap penelitian terhadap spesies ini masih minim.

Nama latin Paradisaea apoda berasal dari kesalahpahaman masa lalu ketika burung ini dibawa ke Eropa tanpa kaki akibat cara pengawetan yang tidak tepat. Hal tersebut membuat burung ini dijuluki sebagai ‘burung surga yang tidak berkaki’.
 
"Burung ini memang istimewa, karena sudah diperdagangkan sejak abad ke-19, sudah sangat lama. Pada masa itu, burung ini menjadi terkenal karena sering dijadikan hiasan di kepala para perempuan bangsawan di Eropa," papar dia.
 
Baca juga: Terancam Punah, Begini Cara Selamatkan Belangkas Menurut Guru Besar IPB

“Semua orang seharusnya sudah tahu bahwa ini burung dilindungi. Tidak boleh dipelihara, diperjualbelikan, bahkan satu helai bulu pun tidak boleh diambil dari alam,” tegas Ani.
 
Menurutnya, alasan budaya kerap digunakan sebagai dalih untuk membenarkan kepemilikan atau penggunaan burung ini sebagai hiasan kepala atau cenderamata.
 
“Kalau memang untuk ritual adat dan jumlahnya sangat terbatas, itu bisa dimaklumi. Tapi yang tidak bisa diterima adalah ketika cenderawasih ini diperjualbelikan atau untuk cenderamata secara massal,” ujar dia.
 
Ani juga menekankan adanya titik temu antara konservasi dan tradisi. Dia menegaskan budaya bisa dilestarikan tanpa harus merusak alam.
 
"Misalnya, beberapa komunitas di Kalimantan sudah mulai memakai bulu sintetis sebagai pengganti bulu rangkong dalam upacara adat. Itu bisa jadi contoh,” tutur dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan