Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti), Kemendikbud, Nizam. Foto: Medcom.id/Ilham Pratama
Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti), Kemendikbud, Nizam. Foto: Medcom.id/Ilham Pratama

Peran Dosen Bakal Bergeser, Dari 'Pilot' Menjadi 'Co-Pilot' Mahasiswanya

Citra Larasati • 09 November 2020 18:05
Jakarta:  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menyiapkan pola baru Penetapan Angka Kredit (PAK) dosen untuk mendukung penerapan Kampus Merdeka.  Kebijakan ini agar dosen lebih merdeka dan fleksibel dalam melakukan tridarma perguruan tinggi di dalam maupun di luar kampus.
 
Sebab ke depan, peran dosen akan bergeser dari yang dahulu menjadi 'pilot' menjadi 'co-pilot' atau pendamping bagi mahasiswanya. "(ke depan) Mahasiswanya banyak kita dorong untuk terjun di dunia nyata, maka tentunya dosen tidak bisa hanya tinggal di dalam kampus, ini juga kita siapkan untuk dosen merdeka," kata Nizam, dalam Sosialisasi Sosialisasi Dosen Penggerak Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka, Senin, 9 November 2020.
 
Menurut Nizam, selama ini lulusan perguruan tinggi kerap dikeluhkan karena tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan, selalu tertinggal dengan kemajuan yang ada di dunia kerja. "Inilah yang menjadikan kita semua harus berbenah diri dan melakukan disrupsi diri, agar kita bisa melakukan adaptasi yang cepat, transformasi yang cepat agar perguruan tinggi fit dengan kebutuhan masyarakat 5.0," terangnya. 

Kebijakan Kampus Merdeka akan membuka ruang-ruang yang luas bagi mahasiswa mengembangkan diri dan kompetensinya sesuai dengan apa yang dicita-citakan.  Namun selama ini, kata Nizam, salah satu penghalang terbesar mahasiswa menggeluti bidang yang sesuai dengan passion-nya adalah 'keberadaan dosen' dan pola pikir yang masih di era industri 2.0 atau 3.0.
 
"Barrier yang paling besar adalah dosen.  Penghalang yang paling besar adalah mindset kita. Kalau dosen masih berada di revolusi industri kedua atau ketiga, bahwa dia adalah satu-satunya sumber ilmu yang berdirii di kelas maka susah untuk kita wujudkan Kampus Merdeka ini," terang Nizam. 
 
Oleh karena itu peran dosen harus bergeser dari yang semula menjadi pilot menjadi pendamping, atau co-pilot bagi mahasiswa. Dosen ke depan harus diposisikan sebagai co-pilot yang mendampingi mahasiswa saat menjelajah dan mengembangkan kompetensinya. 
 
Baca juga:  2021, Kemendikbud Terapkan Formula Baru Menghitung SKS
 
Namun diakui Nizam, peran co-pilot ini tentu tidak mudah, jauh lebih kompleks dan membutuhkan kesungguhan dan passion dari dosen itu sendiri.  "Tapi itu (kemampuan menjadi co-pilot) sangat dibutuhkan, agar kita bisa betul-betul melahirkan manusia unggul, kreatif, dan inovatif yang sesuai dengan dunia kerja yang ia cita-citakan. 
 
 

 
Di sisi lain, Nizam mengakui, jika perguruan tinggi saat ini masih memprihatinkan.  Suasana kampus-kampus di Indonesia selama ini lambat merespons perubahan dan ketinggalan zaman.  
 
"Kalau kita masuk ke kampus-kampus itu masih belum beda dengan zaman kolonial. Apa yang kita jumpai di ruang-ruang kelas kita adalah apa yang dulu kita alami ketika kita masih kuliah," terangnya.
 
Suasana pembelajaran yang dulu dialami guru-guru dan dosen saat masih kuliah juga masih dirasakan oleh mahasiswa kekinian.  "Tidak ada perubahan. Dosen berdiri di depan kelas menjadi sumber ilmu, mahasiswa mendengarkan sambil terkantuk-kantuk di tempat duduknya. Jadi belum banyak perubahan," terang guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) ini. 
 
Kondisi di mana dosen menjadi sumber ilmu satu-satunya harus diubah. Sebab saat ini sumber ilmu sangat terbuka dan bisa berasal dari manapun.
 
"Ini yang harus kita lakukan disrupsi. Mahasiswa punya garis tangan dan cita-cita yang beda satu dengan yang lainnya. Punya passion yang beda satu dengan yang lain, mereka akan bekerja di tempat yang berbeda satu dengan yang lain, atau malah justru menciptakan lapangan pekerjaan," kata Nizam.
 
Sehingga tidak bijak rasanya jika di era kekinian pendidik harus memaksa mahasiswa mengikuti seluruh kelas yang sama, bertemu dengan dosen yang sama, masuk ke laboratorium yang sama, bahkan membaca buku yang sama.  Padahal antara satu mahasiswa dengan lainnya memiliki passion dan cita-cita yang berbeda-beda. 
 
"Begitu pun juga dengan dunia kerjanya, sangat beragam.  Sementara kita masih mendidik anak-anak kita dengan sistem pembelajaran di era industri 2.0 atau 3.0," sesal Nizam. 
 
 

 
Inilah perlunya dunia pendidikan tinggi berpindah cara dan pendekatan untuk memerdekakan mahasiswanya dalam mendapatkan kompetensinya sesuai yang dibutuhkannya. Agar ketika lulus, mahasiswa tidak kebingungan akan melamar kerja kemana,
 
"(saat ini) Mahasiswa mengambil 144 SKS mungkin yang bermanfaat di dunia kerjanya menurut survei hanya 15-20 persen. Kompetensinya banyak yang waste dan tidak dipakai di dunia kerja," ujarnya.
 
Sebelumnya, Kemendikbud telah mendesain ulang formula baru untuk menghitung Sistem Kredit Semester (SKS) yang akan diterapkan mulai 2021. Penghitungan SKS tidak lagi berbasis waktu belajar di kelas, melainkan berdasarkan kegiatan yang di lakukan di dalam maupun di luar kelas.
 
Saat ini, Kemendikbud telah merumuskan formulasi penghitungan SKS yang dapat digunakan untuk dosen dan mahasiswa. "Ada satu yang menarik, SKS kali ini sudah didesain sedemikian rupa, sehingga SKS bukan lagi waktu belajar di kelas, tapi waktu kegiatan," kata Direktur Sumber Daya Dikti Kemendikbud, Sofwan Effendi dalam Sosialisasi Dosen Penggerak Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka, Senin, 9 November 2020.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan