Pakar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto. DOK Unair
Pakar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto. DOK Unair

Wacana Perubahan Tarif KRL, Istilah Si Kaya dan Si Miskin Bikin Sakit Hati Masyarakat Tertentu

Renatha Swasty • 05 Januari 2023 17:04
Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan berencana membedakan tarif kereta rel listrik (KRL) berdasarkan status ekonomi penumpang. Penumpang dengan status kaya harus membayar tarif normal, sementara penumpang dengan status ekonomi rentan hingga miskin akan tetap mendapatkan subsidi.
 
Kebijakan tersebut menuai pro-kontra dari berbagai kalangan. Pakar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto mengatakan penggolongan masyarakat berdasarkan kelas ekonomi sebenarnya merupakan hal biasa dalam penentuan kebijakan publik, terlebih lagi hal itu berkaitan dengan penyesuaian subsidi.
 
"Jadi, kalau dibedakan begitu dengan penggunaan istilah si kaya dan si miskin, mungkin saja bisa menyakiti hati kalangan tertentu,” kata Bagong dikutip dari laman unair.ac.id, Kamis, 5 Januari 2023.

Berbagai pihak cenderung menyangsikan wacana perubahan tarif KRL tersebut. Tidak hanya dari efektivitasnya, tetapi juga dari aspek sosial, seperti potensi munculnya konflik horizontal di masyarakat. Namun, Bagong menilai kebijakan itu tidak berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat.
 
Dia menuturkan dengan status ekonomi yang dimiliki, kelas menengah ke atas sudah seharusnya memahami tujuan dari kebijakan tersebut. Sehingga, hal itu diharapkan dapat menekan terjadinya konflik dan gesekan di masyarakat.
 
“Kalau memicu konflik saya kira tidak. Saya kira mereka yang dari golongan kelas menengah ke atas itu bukan pihak yang menuntut apa yang telah dibayarkan. Artinya mereka juga harus tahu dan paham arah tujuan kebijakan ini,” ujar Bagong.
 
Dia mengingatkan pemerintah untuk waspada terhadap munculnya reaksi berbeda dari golongan masyarakat dengan status ekonomi rentan hingga miskin. Penggolongan masyarakat miskin secara eksplisit dikhawatirkan menimbulkan rasa sakit hati.
 
“Justru yang mengkhawatirkan itu perasaan masyarakat miskin bila mereka terekspose seolah-olah statusnya itu membebani. Mungkin harus dicari istilah lain. Atau mungkin juga pembuatan tiket khusus sebagai penanda bagi mereka yang mampu dan kurang mampu," papar dia.
 
Bagong menyebut penggunaan istilah ‘berdasi’, ‘si miskin’, dan ‘si kaya’ merupakan hal yang tidak perlu. Dia tidak heran kebijakan itu menimbulkan berbagai reaksi lantaran penggunaan terminologi yang kurang tepat.
 
“Menurut saya, ini perkara terminologi saja. Saya rasa pemerintah itu sebenarnya berpikiran bahwa kelas menengah ke atas bisa membantu kelas yang di bawahnya, tetapi kata yang digunakan memang kurang pas, kurang bijak,” ujar Bagong.
 
Bagong menyebut pemerintah hendaknya berhati-hati memilih terminologi yang lebih tepat. Pemerintah perlu lebih bijak mengutarakan maksud dan tujuannya agar tidak memicu kegaduhan masyarakat.
 
“Saya rasa yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah bisa menyampaikan wacana ini dengan pemilihan terminologi yang tepat sehingga tidak memicu ketersinggungan atau kegaduhan,” ujar dia.
 
Baca juga: YLKI: Tak Ada Negara di Dunia Ini yang Pakai Skema Tarif Si Kaya dan Si Miskin di KRL

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan