Padahal di sejumlah negara seperti Korea, Jepang, Korea dan sejumlah negara maju lainnya, komposisi pendanaan riset dan inovasi yang terjadi justru sebaliknya.
"Kalau kita bicara seperti di Korea, Jepang. China, di negara-negara maju itu 80 persennya justru dari industri, 20 persen dari pemerintah," terang Plt. Deputi Bidang Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN, Mego Pinandito dalam Webinar Nasional "Bridging Invention to Innovation to Overcome the Valley of Death Syndrome' yang digelar Asosiasi Inventor Indonesia (AII), Rabu, 10 November 2021.
Hal inilah yang membuat BRIN terus berupaya menggeser porsi pendanaan tersebut. "Bukan mengurangi nominalnya ya, tetapi proporsinya, ingin suatu saat nanti bisa terbalik ya," imbuh Mego.
Ekosistem Riset dan Inovasi
Tidak hanya soal pendanaan, menurut Mego riset dan inovasi belum menjadi pilar utama pembangunan juga disebabkan karena masih rendahnya jumlah inovasi di Tanah Air. Hal ini juga berhubungan dengan kualitas dan belum berubahnya ekosistem riset dan inovasi di Indonesia."Nah inilah yang kemudian menjadi PR (pekerjaan rumah) kita semuanya. Yang pertama meningkatkan anggaran Litbang (penelitian dan pengembangan)," terangnya.
Namun menurut Mego, peningkatan anggaran bukan juga satu-satunya solusi. Sebab berapapun anggaran litbang ditingkatkan, jika tidak diikuti dengan perubahan pola pikir, maka kenaikan anggaran itu pun tidak akan banyak bermakna.
"Output-nya juga tidak akan terlalu banyak," kata Mego.
Baca juga: Atdikbud Canberra Jembatani Pertemuan Peneliti Indonesia dan Australia
Di sisi lain, BRIN juga berharap kapabilitas ilmu pengetahuan teknologi dan inovasi dapat menjadi pendorong utama. Dengan kata lain, perguruan tinggi harus bergandengan tangan dengan industri.
"Sehingga pada saatnya nanti apa yang sudah dihasilkan teman-teman periset, teman-teman di perguruan tinggi itu nyambung dan bisa diproduksi oleh pihak industri," bebernya.
Ujungnya, hilirisasi invensi menjadi produk inovasi yang komersial ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di Tanah Air. "Ya, apakah di angka 6 atau 6 koma sekian, itu adalah salah satu juga upaya-upaya yang dilakukan," terang Mego.
Berisiko dan Berbiaya Tinggi
Untuk meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi tersebut, kata Mego, sejumlah strategi juga sebenarnya telah dilakukan. Salah satunya adalah penguatan dari kegiatan litbang itu sendiri, kemudian infastruktur, dan triple helix."Tetapi di sisi lain manfaat dari apa yang sudah ada ini yang selalu kadang-kadang menjadi diskusi. Ini riset sudah banyak kok tadi enggak ada yang jadi produk komersial. karena memang ada yang masih bolong," terang Mego.
Sehingga perlu satu langkah untuk menutup atau memberikan satu jembatan antara proses mulai dari invensi menjadi inovasi.
Baca juga: BRIN Bakal Kembangkan Penelitian Energi Tenaga Surya
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Inventor Indonesia (AII), Didiek Hadjar Goenadi mengatakan, bahwa mendorong hasil invensi menjadi produk inovasi yang dapat dikomersialisasikan bukanlah hal yang mudah dan murah.
"Jangan dikira bahwa inovasi adalah hal yang mudah dan murah. Ini adalah proses yang mempunyai risiko dan biaya tinggi," tegas Goenadi.

Ketua Umum AII, Didiek Hadjar Goenadi. Foto: Zoom
Risiko dan biaya tinggi tersebut mencakup perubahan struktural dan restrukturisasi keseluruhan ekonomi. "Menyangkut misalnya kelembagaan. Dan kehadiran Badan Riset dan Inovasi Nasional memberikan angin segar bagaimana insentif untuk inovasi iitu diterapkan," kata Goenadi.
Menurutnya, tujuan dibentuknya BRIN ini pun sebenarnya sejalan dengan visi dan misi AII sejak 20 tahun lalu. Namun dengan keberadaan BRIN, ia optimistis bahwa hilirisasi hasil inovasi menjadi produk inovasi yang komersial dapat segera terwujud.
"Dengan BRIN ini insyaAllah bisa konsisten dan istikamah bagi kepentingan nusa dan bangsa. Inovasi memang membutuhkan pengorbanan," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News