Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nadia Fairuza Azzahra mengatakan, Indonesia pada 2030 akan menghadapi bonus demografi. Di periode tersebut, 64% dari total populasi merupakan penduduk usia produktif.
Jumlah 64% merupakan angka yag besar untuk sebuah kelompok tenaga kerja terutama jika melihat agregat populasi Indonesia yang relatif besar dibandingkan dengan mayoritas negara lain. Berbekal bonus demografi, banyak pihak yang menilai bahwa peluang Indonesia untuk menjadi negara dengan pertumbuhan perekonomian pesat sangat terbuka lebar.
“Hari anak jadi momentum bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan pendidikan anak di Indonesia," kata Nadia, di Jakarta, Rabu, 23 Juli 2019.
Momentum ini harus dimanfaatkan pemerintah dan masyarakat luas sebagai pengingat signifikansi peran pendidikan, terutama untuk menyongsong era bonus demografi. Hari Anak Nasional dapat menjadi sebuah momentum penting yang dapat dimanfaatkan pemerintah untuk mengevaluasi, meningkatkan, sekaligus menjaga relevansi pendidikan Indonesia agar sesuai dengan tantangan zaman.
Baca: KPAI: Empat Persoalan Anak Butuh Perhatian Ekstra
Nadia menambahkan, pendidikan berkualitas merupakan hak anak yang wajib dipenuhi oleh negara. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang mensyaratkan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Akan tetapi, jika kita melihat fenomena pendidikan Indonesia pada saat ini, kita bisa melihat bahwa akses pendidikan sudah berhasil ditingkatkan dengan siginifikan. Akan tetapi mutu dan relevansi pendidikan menjadi tantangan laten yang hingga saat ini belum dapat dipecahkan.
Kurikulum Indonesia sering disebut kurang mengakomodasi perkembangan zaman. Sebagai contoh, kurikulum SMK di Indonesia pada saat ini tidak mengakomodasi kebutuhan industri.
Akibatnya, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) terbesar berasal dari lulusan SMK. Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat tujuan SMK adalah mencetak lulusan siap kerja yang dapat langsung terjun ke industri.
Sistem zonasi sekolah juga beberapa tahun belakangan memeroleh penolakan keras dari masyarakat. Hal ini terjadi karena adanya sinkronisasi yang kurang baik antara pemerintah pusat dan daerah serta permasalahan persebaran sekolah terutama di daerah-daerah terpencil yang menyebabkan zonasi tidak berjalan baik.
Baca: Tuntutan Prestasi yang Berlebihan Langgar Hak Anak
Hal ini tentu harus menjadi pekerjaan rumah untuk pemerintah. Selain itu, kualitas guru yang masih di bawah rata-rata masih menjadi salah satu isu utama lain yang kerap kali dibahas dari tahun ke tahun.
Ketidakhadiran guru terutama di sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil, metode pengajaran yang sulit dicerna, serta kurangnya kompetensi guru dalam mengajar mata pengajaran tertentu menjadi beberapa contoh permasalahan guru di Indonesia.
"Tentu saja tanpa kualitas guru yang baik, harapan untuk mencetak anak bangsa yang berkualitas akan sulit tercapai,” urai Nadia.
Oleh karena itu, HAN harus menjadi momentum refleksi bagi pemerintah dan masyarakat akan arti pentingnya pendidikan berkualitas untuk anak-anak Indonesia. Indonesia merupakan negara yang diprediksi akan menjadi negara maju pada 2030 dengan adanya bonus demografi yang melimpah.
"Memetik keuntungan dari bonus demografi akan sulit untuk diwujudkan tanpa adanya komitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News