Dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair), Radityo Dharmaputra, menilai bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS tidak memberikan manfaat signifikan pada negara. Radityo menyebut bergabungnya Indonesia ke BRICS tidak memberikan keuntungan yang jelas.
Terlebih, ada negara anggota BRICS yang merupakan poros penantang negara barat dalam sektor ekonomi menjadikan Indonesia berada pada posisi sulit tanpa adanya keuntungan pasti bagi negaranya.
"Hal ini menjadi masalah ketika tidak jelas ada keuntungan apa yang bisa diperoleh Indonesia. Secara ekonomi Indonesia sudah bisa bekerja sama dengan anggota-anggota BRICS tanpa perlu bergabung. Karena itu, bergabungnya Indonesia dengan BRICS tidak memberikan suatu keuntungan yang pasti bagi negara,” ujar Radityo dikutip dari laman unair.ac.id, Kamis, 9 Januari 2025.
Baca juga: Kenapa Indonesia Bergabung dengan BRICS? Simak Penjelasannya |
Radityo menyebut bergabungnya Indonesia dalam BRICS memiliki risiko tersendiri, yang mana BRICS merupakan kumpulan negara-negara berkembang seperti Brazil, Russia, India dan China, yang memiliki tujuan meningkatkan dominasi perekonomian di kancah global. Organisasi itu digadang sebagai penantang negara barat dalam bidang ekonomi.
“Bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS memberikan sentimen dari negara barat pada Indonesia. Konsekuensinya adalah kita akan dipandang sebagai bagian dari blok China-Rusia oleh negara barat. Kita butuh diversifikasi investor agar tidak tergantung pada negara tertentu, seperti kata Menlu. Jangan sampai bergabungnya kita ke BRICS malah dipandang kita meninggalkan Barat,” ujar dia.
Secara global, Radityo menyebut BRICS belum memberikan pengaruh jelas bagi eksistensi Indonesia. Ia menilai hal ini merupakan langkah Presiden Prabowo Subianto untuk diakui sebagai pemimpin global.
Hal ini semakin diperkuat dengan adanya risiko semakin buruknya hubungan Indonesia dengan barat. ”Selanjutnya, Indonesia perlu mengambil keputusan secara hati-hati dalam setiap langkah globalnya. Dalam hal ini harus ada mitigasi dengan cara menguatkan kerja sama dengan AS dan Uni Eropa sebagai penyeimbang. Kalau tidak, harganya terlalu mahal untuk kita,” ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News