Medcom.id coba mengupas pasal tentang pendidikan di UU Ciptaker. Merujuk draf UU Ciptaker yang beredar tak lama setelah pengesahan, Senin, 5 Oktober 2020, sektor pendidikan termuat dalam Bagian Keempat tentang Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Serta Kemudahan dan Persyaratan Investasi.
Paragraf satu bab tersebut, tepatnya di pasal 26, menyebutkan jika Perizinan Berusaha terdiri atas 15 sektor. Pendidikan dan Kebudayaan salah satunya, dan masuk dalam Pasal 26 huruf k.
Baca: FSGI: UU Cipta Kerja Jalan Masuk Kapitalisasi Pendidikan
Bab yang sama Paragraf 12, menjelaskan tentang sektor pendidikan dan kebudayaan. Bagian ini sebetulnya hanya memuat satu aturan mengenai Perizinan Berusaha pada sektor pendidikan, yakni di Pasal 65. Selebihnya, bagian tersebut berisi perubahan atas Undang-Undang nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman.
Lebih rinci, Pasal 65 UU Ciptaker berbunyi;
Ayat 1, Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Ayat 2, Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 1 UU Cipta Kerja menjelaskan, Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
Definisi 'usaha' menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang relevan dengan UU ini yaitu; kegiatan di bidang perdagangan (dengan maksud mencari untung); perdagangan; perusahaan.
Sementara, Pasal 1 huruf d UU Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, definisi kata 'usaha' yakni; setiap tindakan, perbuatan atau kegiatan apapun dalam bidang perekonomian, yang dilakukan oleh setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.
Dengan begitu, pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan yang dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam UU Ciptaker, memungkinkan pendirian satuan pendidikan untuk mencari keuntungan. Padahal, pendidikan adalah usaha sosial bukan untuk mencari keuntungan.
Perihal pendirian satuan pendidikan, sejatinya sudah pula diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). UU tersebut menjelaskan jika mendirikan pendidikan formal dan nonformal dibutuhkan izin dari pemerintah pusat atau daerah.
Pasal 62 ayat 1 memuat sejumlah syarat yang harus dipenuhi, bunyinya;
'Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidikan dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan'.
UU Sisdiknas juga mengatur soal sanksi. Apabila ketentuan persyaratan izin satuan pendidikan ini dilanggar, pendiri dapat dikenakan sanksi pidana dengan penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1 miliar.
Bila diperhatikan, UU Ciptaker sama sekali tidak memuat pasal yang berisi perubahan atas UU Sisdiknas atau UU yang berkaitan dengan pendidikan. Artinya, pasal terkait pendidikan dalam UU Ciptaker merupakan aturan yang berdiri sendiri, tanpa mengubah UU tentang pendidikan yang lain.
Baca: Kemendikbud: Izin Pendirian Satuan Pendidikan Tetap Berasas Nirlaba
Setidaknya ada tiga UU yang sempat masuk wacana perubahan dan termuat dalam draf RUU Cipta Kerja sebelum dibahas di tingkat Badan Legislasi (Baleg) DPR. Ketiga UU itu yakni UU nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dan UU Sisdiknas.
Keberadan pasal yang mengatur sektor pendidikan dalam kategori Perizinan Berusaha menjadi tanda tanya. Toh, aturan izin pendirian satuan pendidikan dalam UU Sisdiknas juga tak diubah. Pertanyaannya, aturan mana yang bisa mengikat dalam proses perizinan satuan pendidikan?
Asumsi sejumlah pemerhati pendidikan yang menilai pasal dalam UU Ciptaker berpotensi menjadikan pendirian satuan pendidikan hanya berorientasi keuntungan boleh jadi memang benar dan memungkinkan terjadi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News