"Peringatan 200 Tahun Perang Jawa bukan sekadar seremoni sejarah," kata Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) E. Aminudin Aziz di Perpusnas, Minggu, 20 Juli 2025.
Ia menuturkan perang ini dipicu oleh ketidakadilan dan penindasan panjang yang dirasakan masyarakat. Perlawanan meluas hingga melampaui wilayah Tegalrejo bahkan luar Pulau Jawa.
Aminudin mengungkapkan telah berdiskusi dengan sejarawan asal Inggris, Peter Carey, terkait esensi dari Perang Jawa. Inti dari kisah historis ini adalah martabat.
“Saat pertama kali saya berdiskusi dengan Profesor Peter Carey, beliau merangkum makna perang ini dalam satu kalimat: I want respect! Kalimat ini menggugah saya, menjadikan semangat transformasi yang terus dikobarkan di Perpusnas, yakni Perpustakaan Hadir Demi Martabat Bangsa," ungkapnya.
Dia menuturkan sejak awal 2025, Perpusnas mengusung visi baru yakni Perpustakaan Hadir Demi Martabat Bangsa. Visi ini, menurutnya, sejalan dengan semangat perjuangan Diponegoro yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga intelektual dan spiritual.
"Kita semua yakin dan percaya bahwa derajat kemartabatan dan harga diri bangsa sangat ditentukan oleh keluasan dan kekuatan penguasaan ilmu pengetahuan, yang secara hakikat mencerminkan tingkat kecakapan literasi warga bangsa itu. Itulah alasan yang mendorong kami mengangkat kata "MARTABAT" menjadi tema besar Peringatan 200 Tahun Perang Jawa ini," papar dia.
Dalam rangkaian peringatan 200 Tahun Perang Jawa, Perpusnas menyelenggarakan Pameran 200 Tahun Perang Jawa: “MARTABAT”. Pada malam pembukaan, juga diluncurkan Gerakan Literasi Kebangsaan oleh Kepala Perpusnas bersama Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon.
Baca juga: Pacu Jalur Viral, Medsos Bisa Dongkrak Tradisi Lokal |
Fadli Zon menyampaikan apresiasi kepada Perpusnas atas inisiatif peringatan tersebut. Dia menilai peringatan ini menjadi bagian dari komitmen bangsa menghidupkan ruang refleksi sejarah.
“Perpusnas telah meneguhkan komitmen bersama untuk terus menghidupkan ruang refleksi atas sejarah bangsa. Pangeran Diponegoro adalah sosok yang tegas, bersahaja, religius, dan patriotik," ujar Fadli Zon.
Ia menjelaskan naskah Babad Diponegoro merupakan biografi pertama yang ditulis sendiri oleh Pangeran Diponegoro dalam aksara Pegon. Naskah setebal 1.151 halaman itu telah diakui dunia dengan menerima penghargaan Memory of the World dari UNESCO pada 21 Juni 2013.
“Babad ini merupakan salah satu rujukan lengkap sejarah yang memberikan literasi bagi kita, generasi penerus bangsa, mengenai sejarah Jawa. Refleksi terhadap Perang Jawa mengajarkan kita bahwa jati diri perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak dibangun dalam sebuah kenyamanan, tetapi dalam perlawanan menentang penjajahan dan kolonialisme,” papar dia.
Pameran “Martabat” akan berlangsung mulai 20 Juli hingga 20 Agustus 2025 di Bangunan Cagar Budaya (BCB), Gedung Fasilitas Layanan Perpusnas, Jakarta. Melalui pameran ini, publik diajak menyelami kembali kisah seorang pemimpin spiritual dan politik yang memilih perlawanan sebagai jalan mempertahankan harga diri dan kehormatan bangsanya.
Naskah-naskah klasik yang berasal dari berbagai masa dan tempat termasuk yang ditulis sendiri oleh Pangeran Diponegoro di pengasingan, menjadi saksi bisu perjalanan luar biasa Sang Pangeran. Salah satu kekuatan utama pameran ini adalah kehadiran kutipan langsung dari naskah Babad Diponegoro, autobiografi yang ditulis langsung oleh Pangeran Diponegoro selama masa pengasingan di Manado antara 1831 hingga 1832.
Naskah ini ditulis dalam bentuk tembang macapat dan memuat lebih dari seribu bait. Fadli Zon berharap generasi muda turut menjadikan kisah Diponegoro sebagai pengingat, perjuangan membangun bangsa tidak berhenti di masa lalu.
"Saya mengajak generasi muda Indonesia untuk terus memperdalam literasi sejarah, karena sejarah bukan sekadar catatan peristiwa, namun sebuah cermin jati diri, penunjuk arah, dan fondasi moral dalam menghadapi tantangan zaman," tutur Fadli Zon
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News