Menurut Willy, situasi tersebut merupakan ironi jika terjadi di masa penuh kebebasan ssaat ini, masih ada aksi pemberhentian terhadap mahasiswa oleh petinggi kampus karena alasan semacam itu.
"Mahasiswa melakukan aksi demonstrasi itu hal yang sangat biasa. Rektor didemo oleh mahasiswanya itu biasa. Wong presiden saja didemo, DPR didemo, apalagi cuma seorang rektor," ungkap Willy di kompleks DPR, Kamis, 25 Februari 2021.
Aktivis '98 ini menambahkan, adanya demonstrasi di lingkungan kampus seharusnya disyukuri. Di saat iklim perguruan tinggi lebih banyak berkutat pada rutinitas perkuliahan dan sejenisnya, adanya aksi demonstrasi menunjukkan adanya dinamika kampus.
Baca: UI Kampus Terbaik di Indonesia Versi Webometrics 2021
Menurutnya, aksi demonstrasi adalah bagian dari kebebasan akademik sivitas akademika kampus. Ketimbang mahasiswanya hanya kuliah, mengisi absen, mengerjakan tugas, atau sekadar bayar uang kuliah, lebih bagus jika para mewarnai kehidupan kampus dengan demonstrasi.
"Aksi demonstrasi itu menunjukkan adanya kesadaran seorang mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademika. Ia juga menunjukkan tanggung jawab moral sebagai orang yang berpendidikan atas dinamika sosial yang terjadi.”
Willy mengatakan, dalam demonstrasi ada gugatan sekaligus dalih yang seharusnya bisa diterima dan dijawab oleh pimpinan kampus dengan sikap ilmiah sekaligus dewasa sebagai insan berpendidikan. Jangan malah melakukan DO terhadap mahasiswanya.
"Demonstrasi itu justru salah satu ekspresi dari pendidikan itu sendiri," ucap dia.
Bagi Willy, sangat tidak patut adanya DO lantaran mahasiswa melakukan demo. Ia mengingatkan, rektor dalam sebuah perguruan tinggi bukanlah penguasa. Rektor adalah pemimpin kampus yang sepatutnya mampu menyelami segala dinamika yang terjadi di kampus sebagai insan yang berilmu pengetahuan.
"Bukan malah berlaku sewenang-wenang," tegas Wakil Ketua Fraksi NasDem di DPR ini.
Dia pun mempertanyakan alasan rektorat di Universitas Lancang Kuning Pekanbaru dan Universitas Bandar Lampung saat memberhentikan dan menggugat mahasiswanya. Bagi Willy, seorang rektor terhadap mahasiswanya itu seharusnya seperti seorang bapak terhadap anaknya. Bukan seperti pemimpin perusahaan atau organisasi terhadap anak buah atau anggotanya.
Baca: Lulus Saat Pandemi, Ini Wejangan Rektor untuk Wisudawan UGM
Willy menambahkan, pimpinan kampus juga harus memiliki keluasan jiwa dalam menerima dan kearifan pengetahuan untuk bisa memberikan penjelasan kepada anak-anaknya atas suatu persoalan tertentu. Bukan malah mempolisikan anaknya karena kenakalannya.
"Katakan saja benar beberapa mahasiswa melanggar kekarantinaan seperti yang terjadi UBL Lampung. Apakah patut dia dilaporkan oleh rektoratnya ke polisi? Saya kira itu berlebihan dan amat sangat disayangkan," ungkapnya.
Ketua DPW Partai Partai NasDem Riau ini mengatakan, DO boleh dilakukan oleh pihak kampus jika seorang mahasiswa memang tidak memenuhi kewajiban akademiknya. "Itu pun masih bisa ditolelir atas kebijakan pimpinan kampus. Namun jika mahasiswa di DO karena aksi demonstrasinya maka kampus itu telah berlaku picik," cetusnya.
Dia berharap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim merespons kejadian di Universitas Lancang Kuning Pekanbaru, Riau dan Universitas Bandar Lampung, tersebut. Dia juga meminta para koleganya di Komisi X DPR untuk menginisiasi adanya rapat kerja dengan Mendikbud terkait hal ini.
"Hal semacam ini jangan dianggap sepele lho. Ini terkait kehidupan asasi di dalam lembaga pendidikan tinggi. Di lembaga yang bertugas menjaga kewarasan nalar kehidupan bangsa ini. Kalau di lembaga pendidikan tinggi saja nalar sehatnya sudah terbuang, dan justru cara kekuasaan yang bekerja, bagaimana di lembaga yang lain?" tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News