Setelah mengkaji puluhan jurnal mengenai
peritoneal dialysis, Fiqey dan tim menemukan perubahan warna cairan buangan pasien CAPD dapat digunakan sebagai salah satu indikator awal diagnosa komplikasi. Hal ini juga ditunjukkan berdasarkan tingkat kekeruhan cairan buangan pasien.
“Oleh karena itu, kami mengusung judul penelitian Mobile Virtual Assistant Pendeteksi Dini Risiko Komplikasi Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis pada Penyandang Gagal Ginjal Kronis Berbasis Machine Learning, yang juga kami sebut sebagai SahabatCAPD,” tutur mahasiswi Departemen Teknik Informatika ini.
Aplikasi SahabatCAPD memiliki tiga konsep fungsionalitas utama. Pertama,
logbook sebagai pengganti buku catatan dialisis pada pasien yang lebih efektif dan sistematis dalam memberikan
follow up data ke tenaga medis. Kedua,
chatbot sebagai sistem virtual
assistant ketika pasien membutuhkan edukasi mengenai CAPD. Ketiga, model deteksi dini komplikasi berbasis
machine learning.
Aplikasi SahabatCAPD memungkinkan pasien terhubung dengan tenaga medis, sehingga
follow up data penggantian cairan akan lebih mudah di-
monitoring. Hal ini untuk memudahkan tenaga medis mencegah komplikasi sedini mungkin.
“Yang mulanya pasien harus membawa buku catatan ke rumah sakit, sekarang
monitoring dapat ditinjau langsung dari jauh,” papar mahasiswi asal Kota Pasuruan ini.
Dia menyebut akurasi kesesuaian solusi
image processing terhadap indikasi dan komplikasi mencapai 94,7 persen. SahabatCAPD juga telah diujikan kepada lima pasien GGK sesuai standar
System Usability Scale (SUS) dan mendapat skor 80.
“Selama tujuh hari penggunaan aplikasi, pasien secara rutin meng-
update data penggantian cairan dengan lancar,” ungkap dia.