Jakarta: Pasien gagal ginjal kronis (GGK) yang menggunakan metode Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) seringkali menemui masalah self-monitoring yang berakibat komplikasi. Untuk mengatasi masalah tersebut, mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menciptakan aplikasi SahabatCAPD dengan teknologi machine learning untuk membantu pasien GGK mendeteksi dini risiko komplikasi serta meningkatkan self-monitoring.
Ketua tim, Fiqey Indriati Eka Sari, menjelaskan pemerintah telah menetapkan solusi untuk pemerataan treatment stadium akhir GGK. Yakni melalui terapi peritoneal dialysis, khususnya metode CAPD.
“Metode CAPD menjadi alternatif karena pasien bisa memiliki kualitas hidup 90 persen lebih baik daripada metode terapi lainnya,” kata Fiqey dalam keterangan tertulis, Jumat, 4 Februari 2022.
Fiqey menjelaskan prinsip kerja CAPD ialah dengan menyalurkan cairan dialisat steril ke rongga peritoneum melalui kateter permanen sebagai pengganti fungsi ginjal. Hal ini dilakukan rutin oleh pasien sebanyak tiga hingga lima kali dalam sehari.
“Karenanya, pasien dituntut memiliki disiplin dan self-monitoring yang tinggi,” ujar dia.
Namun, penelitian pada 2016 dan 2020 menunjukkan tingkat kelalaian pasien mencapai 74 persen. Selain itu, pasien mengaku sulit mengenali gejala komplikasi yang berdampak keterlambatan penanganan.
“Kondisi terkini, pasien juga kurang mem-follow up data penggantian cairan, sehingga tenaga medis kesulitan untuk mendiagnosis komplikasi lebih dini,” kata mahasiswi yang juga anggota tim Robotic Ichiro ITS ini.
FOLLOW US
Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan