“Penjurusan seperti IPA, IPS, dan Bahasa perlu dikaji ulang. Seharusnya pemerintah menyusun kebijakan pendidikan yang lebih progresif dan selaras perkembangan zaman, termasuk memperhatikan ketersediaan sarana, prasarana, serta sumber daya guru,” tegas Tuti dikutip dari laman unair.ac.id, Kamis, 24 April 2025.
Ia menyebut sistem pembelajaran ideal untuk siswa SMA seharusnya fleksibel dan adaptif. Menurutnya, perlu ada penyesuaian dalam pengembangan minat, bakat, serta potensi akademik maupun non-akademik siswa, khususnya terkait persiapan dalam memilih jurusan di universitas.
Tuti menegaskan kebijakan pendidikan nasional sebaiknya dirancang dalam jangka panjang sebagai blue print yang bisa diikuti pemerintahan selanjutnya. Dia mengingatkan jangan sampai setiap pergantian rezim, lalu berganti menteri, kebijakan ikut berubah.
"Pendidikan harus punya arah yang jelas dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya serta tujuan pendidikan nasional, setidaknya untuk 25 hingga 50 tahun ke depan,” tegas dia.
Tuti membandingkan sistem pendidikan di Indonesia dengan negara-negara maju. Menurutnya, tidak ada lagi pengkotak-kotakan siswa yang hanya didasarkan atas beberapa jurusan.
Baca juga: Ketimbang Bingung Soal Penjurusan di SMA, Lebih Baik Fokus Tingkatkan Kualitas Guru |
Dia menuturkan penjurusan sekolah di Singapura dibuat fleksibel dan memungkinkan siswa dapat memilih mata pelajaran dari lintas bidang. Di Jepang dan Jerman, siswa SMA memiliki lebih banyak pilihan, termasuk jalur akademik atau vokasional, serta model pendidikan dual system yang menggabungkan pembelajaran di sekolah dengan pelatihan kerja. Sementara itu, di Amerika Serikat tidak ada sistem penjurusan formal. Siswa bebas memilih mata pelajaran sesuai minat dan rencana karier.
“Dengan sistem seperti itu, apa yang dipelajari siswa ketika di SMA akan lebih relevan dengan bidang yang ingin mereka dalami di perguruan tinggi,” jelas dia.
Tuti juga menanggapi wacana penerapan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai alat validasi nilai rapor dalam Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Dia tidak keberatan selama TKA mampu mengukur potensi akademik siswa secara valid dan akurat.
Ia justru menyoroti realitas sistem penjurusan lama sering kali menutup peluang siswa untuk berkembang secara utuh. “Banyak siswa dipaksa masuk jurusan IPA dianggap lebih superior, padahal minat dan potensinya tidak di situ. Akhirnya saat masuk perguruan tinggi, mereka tidak bisa mengambil jurusan yang sesuai minat bakatnya,” ucap dia.
Tuti menekankan pentingnya reformasi pendidikan untuk jangka panjang. Ia mengkritisi kebijakan populis yang sering kali tidak dibarengi evaluasi mendalam, seperti peluncuran program Sekolah Rakyat yang justru dinilai berpotensi mengorbankan sekolah-sekolah dengan keterbatasan fasilitas.
“Jangan membuat kebijakan yang tumpang tindih, tidak mengakar, dan tidak didasarkan atas kajian dan data yang menyeluruh. Pemerintah perlu berani berinovasi,” tegas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News