Guru Besar bidang Manajemen Kebijakan Publik dari Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Wahyudi Kumorotomo, menilai aksi itu mewakili keprihatinan bukan hanya dosen dan guru, tetapi juga perumus kebijakan. Padahal, dalam rentang lima tahun ke depan, Indonesia tengah menuju Indonesia Emas dan periode jangka menengah kedua untuk memanfaatkan Bonus Demografi yang menghendaki komitmen lebih kuat pada basis pendidikan pengembngan SDM.
“Kita menyayangkan perhatian pemerintah dan perumus kebijakan justru semakin luntur. Pendidikan yang menentukan daya-saing bangsa semakin tidak diperhatikan,” kata Wahyudi dikutip dari laman ugm.ac.id, Senin, 20 Januari 2025.
Wahyudi juga menilai langkah Kemendiktisaintek saat ini sangat membingungkan. Pasalnya, dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 447/P/2024 sudah dijelaskan tentang rencana memberikan Tukin dan mestinya sudah masuk ke mata anggaran pemerintah.
“Sangat aneh jika ternyata Kementerian ini justru mengatakan bahwa dananya dari APBN belum ada. Sekarang ini prioritas pemerintah betul-betul sangat membingungkan," ujar dia.
Wahyudi menuturkan pemerintah sudah mulai menjalankan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Selain itu, Kemenhut akan membuka jutaan hektare lahan untuk pangan.
"Sementara itu, banyak menteri di kabinet yang tambun ini yang mengeluhkan bahwa anggaran mereka masih kurang. Apakah semua alokasi anggaran harus dilakukan melalui “kuat-kuatan” negosiasi?,” tanya dia.
Baca juga: Dosen Pertanyakan Tukin Tak Turun Padahal Sudah Ada Aturan Menterinya |
Menurutnya, persoalan tukin dosen ASN bermula pada perubahan Undang-Undang Pegawai Negeri Sipil (UU PNS) menjadi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) pada 2015. Perubahan tersebut turut menyinggung postur anggaran, baik yang berstatus PNS maupun PPPK.
Selain itu, Undang-Undang Guru dan Dosen diterbitkan pada 2005, proses sertifikasi dosen (serdos) belum selesai sepenuhnya, terutama bagi dosen muda yang belum memenuhi syarat sertifikasi. “Nah, mereka itu tidak mendapatkan tunjangan. Yang sudah punya sertifikasi dosen, mereka dapat. Yang belum serdos ini yang punya masalah, mereka menuntut,” jelas dia.
Dosen yang belum memiliki serdos telah mengajukan tuntutan agar mereka mendapatkan tukin sebagai pengganti tunjangan profesi. Namun, pengesahan tukin tersebut ternyata membutuhkan waktu cukup lama.
Hal itu kian rumit dengan adanya perubahan struktur nomenklatur kementerian, dari Kemenristekdikti ke Kemendikbudristek hingga kini menjadi Kemendiktsaintek. Wahyudi menilai ada kecenderungan pola alokasi anggaran yang kurang teratur di tingkat pemerintahan, seperti dalam negosiasi kenaikan tunjangan hakim sampai melibatkan Presiden turun secara langsung.
Apabila tunjangan kinerja dosen belum terealisasi, menurutnya, aksi ADAKSI dan komunitas dosen dan guru akan terus disuarakan secara lantang.
“Saya melihat sebenarnya kondisi ini tidak sehat karena semua hal terkait pendanaan Kementerian dan lembaga dasarnya adalah negosiasi politik, bukan berdasarkan kebutuhan objektif dari program di setiap kementerian,” ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News