"Belum dibahas sama sekali," kata Satryo di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Kamis, 23 Januari 2025.
Senada dengan Satryo, Sekretaris Jenderal Kemendiktisaintek, Togar Simatupang juga mengatakan belum ada pembahasan khusus terkait wacana perguruan tinggi kelola tambang di Kemendiktisaintek. "Belum, belum. Jadi kita baru ke bagaimana kita membuat kementerian, semua ya, semua kementerian itu diminta untuk bisa berkontribusi kepada Asta Cita, kepada 8 persen pertumbuhan, baru di situ," kata Togar kepada Medcom.id, Kamis, 23 Januari 2025.
Skema Kolaborasi
Namun menurut Togar, wacana pengelolaan tambang itu pun masih sangat dini, sehingga jalannya masih panjang, sebab harus dilakukan kajian mendalam terlebih dahulu. Meski begitu, kata Togar, yang paling memungkinkan diterapkan dalam wacana perguruan tinggi mengelola tambang ini adalah menggunakan skema kolaborasi antara kampus dan industri pengelola tambang."Lebih bagus ke sana, karena jadi akan terlihat tridarma perguruan tingginya," kata Togar.
Ia mencontohkan, kolaborasi tersebut dapat diwujudkan dalam berbagai ragam bentuk. Misal melakukan kontrak untuk penyerapan lulusannya, atau pelibatan perguruan tinggi untuk pelestarian lingkungan tambang, CSR, maupun R and D (research and development) atau riset-riset lain yang dibutuhkan.
Skema kolaborasi ini, menurut Togar akan lebih baik, ketimbang perguruan tinggi mengelola langsung tambang layaknya industri, sekalipun itu menggunakan badan usaha perguruan tinggi. "Itu (skema kolaborasi) lebih bagus. Jika mengelola langsung tentu modalnya saja besar, belum lagi modal kerja. Besar sekali infrastrukturnya, luar biasa kan?" tegas Togar.
Togar justru balik mempertanyakan sejumlah hal mendasar kepada para pengusul wacana perguruan tinggi menjadi pengelola tambang. Pertama, apakah usulan ini memiliki dasar kajian dan hitungan yang ilmiah, acuan, hingga bisnis modelnya," ujar Togar balik bertanya.
"Jadi saya punya tiga pertanyaan sebetulnya, kepada pengusul-pengusul itu. Pertama adalah, mana hitungannya? Bahwa memang nambang itu bisa dikelola oleh perguruan tinggi. Yang kedua, mana benchmark-nya? Ya, acuannya mana? Terus yang ketiga, bagaimana dengan bisnis modelnya? Apakah dia sustain atau hanya ekstraksi saja? Apakah dia bisa konservasi atau sustainability? Tiga itu pertanyaannya," beber Togar.
Baca juga: Forum Rektor Indonesia Sambut Positif Perguruan Tinggi Kelola Tambang, Ini Alasannya |
Sebelumnya, dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) menghadirkan wacana baru yang menarik. Badan Legislasi (Baleg) DPR RI membahas usulan agar perguruan tinggi mendapat prioritas dalam mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam.
Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan, menyampaikan apresiasinya terhadap langkah ini, yang dinilai mampu membawa manfaat langsung bagi masyarakat dan dunia pendidikan. "Demikian pula dengan perguruan tinggi dan yang keempat tentunya UMKM, usaha kecil dan sebagainya. Saya secara pribadi melihat hal ini telah terdapat makna dan maksud terlepas daripada pasal 33 tersebut baru kali ini bisa terasionalisasi," ujar Bob Hasan dalam rapat yang digelar di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 20 Januari 2025.
Usulan ini tertuang dalam pasal 51A RUU Minerba, yang menyebutkan bahwa perguruan tinggi dapat diberi WIUP dengan cara prioritas. Syarat-syaratnya antara lain, luas WIUP, akreditasi perguruan tinggi minimal B, serta kontribusi terhadap peningkatan akses pendidikan bagi masyarakat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News