“Kami sepakat dengan Bapak Kapolri bahwa berbagai persoalan di lembaga pendidikan sebaiknya diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan dan musyawarah. Hal ini sesuai dengan prinsip restorative justice,” ujar Mu’ti dalam keterangan tertulis yang diterima Medcom.id, Jumat, 15 November 2024.
Kedua pihak juga menyepakati program Polisi Mengajar atau Relawan Mengajar yang melibatkan unsur kepolisian dalam upaya meningkatkan akses pendidikan di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Program ini diharapkan dapat membantu menyediakan layanan pendidikan bagi anak-anak Indonesia di wilayah yang sulit terjangkau.
"Ini merupakan bagian dari komitmen kami untuk memberikan pendidikan bagi semua, di mana pun anak-anak Indonesia berada," ujar Mu'ti.
Pertemuan juga membahas rencana pembaruan Nota Kesepahaman (MoU) antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Polri. Pembaruan ini akan mencakup program penyuluhan di sekolah-sekolah terkait ketertiban masyarakat serta inisiatif seperti Polisi Masuk Sekolah.
“Kami ingin memastikan kerja sama ini tidak hanya menyelesaikan masalah dari hilir, tetapi juga melakukan upaya pencegahan di hulu,” ujar dia.
Dia mengungkapkan ada juga rencana menghidupkan kembali program Pramuka Bhayangkara. Program ini diharapkan dapat membentuk karakter disiplin dan jiwa kepanduan di kalangan pelajar, sejalan dengan nilai-nilai positif yang ingin ditanamkan untuk masa depan generasi muda Indonesia.
Mu'ti turut menyoroti perlunya revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Kedua undang-undang ini dianggap perlu diperbarui untuk memberikan perlindungan lebih bagi guru, baik dari sisi profesi maupun keamanan.
Baca juga: Hindari Kriminalisasi, Guru Mesti Dapat Perlindungan Hukum |
“Kami sedang mempertimbangkan dua opsi, apakah perlu merevisi undang-undang yang sudah ada atau membuat undang-undang baru. Kami akan mengkaji hal ini lebih lanjut dengan masukan dari masyarakat,” beber dia.
Salah satu isu penting yang diangkat adalah mengenai anak didik yang mengalami masalah sosial dan psikologis, terutama korban kekerasan atau mengalami masalah asusila. Mu'ti mengusulkan dua opsi.
Pertama, mengembangkan Kate School seperti di Amerika Serikat, yang fokus pada pendidikan khusus bagi anak-anak dengan masalah psikologis dan sosial. Kedua, pendekatan forging, yang selama ini dilakukan beberapa organisasi kemasyarakatan.
“Kami harus mencari jalan keluar agar anak-anak yang sudah menjadi korban tidak mengalami beban ganda. Mereka seharusnya tetap bisa mendapatkan pendidikan yang layak tanpa mendapatkan stigma negatif dari masyarakat,” ujar Mu’ti.
Kedua pihak sepakat menindaklanjuti hasil pertemuan ini dengan perjanjian kerja sama yang lebih detail. Program kerja sama akan melibatkan sosialisasi di sekolah-sekolah terkait potensi kejahatan, seperti narkoba, tawuran, dan bahaya konten negatif di media online.
"Kami ingin memastikan bahwa sekolah tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga ruang yang aman bagi seluruh siswa," ujar Kapolri Listyo.
Mu'ti berharap kerja sama ini dapat segera diwujudkan dalam bentuk program nyata. Hal itu agar dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh siswa dan tenaga pendidik di Indonesia.
“Kami ingin memastikan bahwa pendidikan di Indonesia tidak hanya bisa diakses oleh semua anak, tetapi juga memberikan rasa aman dan nyaman bagi mereka. Ini adalah bagian dari upaya kami untuk menciptakan generasi bangsa yang kuat dan hebat,” ujar Mu'ti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News