Demikian benang merah dari Sarasehan Daring Satupena (Sadaring) ke-3 bertema Cerita dari Molo dan Palu. Sarasehan menghadirkan pegiat literasi Dicky Senda dari Molo dan Neni Muhidin dari Palu. Acara yang dipandu Ita Siregar ini sebagai upaya menghargai potensi-potensi lokal untuk kemajuan masyarakat.
Neni Muhidin bercerita saat diminta ibu yang single parent untuk pulang pada 2007. Neni adalah anak perantau yang studi di Bandung dan sempat bekerja di Jakarta. Sang ibu meminta Neni agar menjadi PNS meski itu sulit dipenuhi.
"Keputusan balik ke Palu pada 2007 karena Ibu. Saya merasa kehilangan banyak temen di gerakan literasi di Bandung," katanya.
Tapi, tidak lama kemudian, Neni mulai melakukan kegiatan literasi di kalangan teman dekat. Ikut menyemarakkan diskusi film dan kegiatan budaya lain di Palu. Kini, buah dari kegiatan yang itu dirasakan masyarakat, khususnya generasi muda.
Beda lagi dengan Dicky Senda yang lama merantau di Yogya. Ia akhirnya pulang kampung pada 2016 dan mendirikan komunitas Lakoat Kujawas.
"Sebenarnya pulang kampung untuk riset bahan penulisan lokal. Tapi saat itu, 2016, NTT menjadi puncak human trafficking. Sebaliknya ada jurang pemisah dan merasa terpisah dari lingkungan, seperti asing sendiri. Akhirnya saya temukan sesuatu yang amat mengganggu diri," kata dia.
Menurut Dicky, pada masa sekolah tahun 1990-an, anak-anak tidak boleh berbahasa daerah di sekolah. Jika itu dilakukan, maka akan dapat hukuman berat. Jadi, dia merasa tidak mengenal bahasa dan budaya lokal karena ada kewajiban dari pemerintah untuk menggunakan bahasa Indonesia.
"Tantangan kami adalah lingkungan daerah. Juga pergumulan dalam diri kita," kata Dicky.
Semangat membangun daerah
Lebih lanjut Neni mengatakan di kota Palu yang terjadi hari ini sulit menemukan komunitas masyarakat yang mampu mempraktikan budaya dan bahasa lokal. Mungkin sama dengan ibu kota di sejumlah daerah.Hal yang paling menyenangkan, kata Neni, adalah bertemu dengan kawan-kawan yang punya gairah yang sama untuk memajukan literasi. Semula balik kampung semasa kuliah. Misal Lebaran, merasa terasing, tapi belakangan tidak lagi.
"Yang saya alami sama dengan yang dialami Soekarno meninggalkan Jatim untuk kuliah di Bandung. Setelah itu kembali ke kampung halaman lalu membuat sesuatu seperti gerakan. Saya merasakan ada gairah seperti itu.
Komunitas Nemu Buku yang dinamai Neni ini semata-mata karena pengalaman persolannya menemukan buku yang kemudian ia baca.
"Ini spiritual sekali dan itulah kemudian muncul nama Nemu Buku. Jadi, buku itu memang penting seperti ilustrasi dengan kalimat 'Buku jendela dunia', tapi yang terpenting adalah bagaimana seseorang tercerahkan secara spiritual karena buku yang dibacanya,” kata Neni.
Dicky justru menghadapi bagaimana rumah tradisional Molo, seperti rumah bulat di Papua yang atapnya menjuntai ke tanah, dinilai tidak sehat oleh pemerintah dan WHO. Menurutnya, banyak yang hilang dengan nilai dan budaya orang Molo. Misalnya, kaitannya dengan batu, hutan, dan sungai. Semua itu diwariskan di rumah tradisional.
Komunitas Lakoat Kujawas tengah berusaha untuk melakukan riset, mengarsipkan, dan menerbitkan buku atau jurnal. Kemudian mengalihwahanakan dalam bentuk pendek, podcast, dan rekaman lainnya. Dari sana akhirnya berkembang ke bidang yang sebelumnya tidak terpikir yaitu pangan.
"Akhirnya gerakan literasi juga ikut memberdayakan masyarakat melalui kegiatan UMK lewat beragam pangan lokal," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News