Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko menyampaikan pandemi juga mengajarkan tentang kedaulatan pengelolaan kesehatan di Tanah Air. Dia menuturkan setelah pembentukan BRIN pada April 2021, pihaknya fokus menjadi penggerak, pendorong secara ril.
"Tentu saja kita berupaya untuk mandiri dan berdaulat di bidang kesehatan,” kata Handoko saat membuka webinar Pemanfaatan Riset dan Inovasi Kesehatan untuk Percepatan Kemandirian Industri farmasi dan Alat Kesehatan Indonesia dikutip dari laman brin.go.id, Rabu, 6 Juli 2022.
Handoko menyebut potensi hasil riset di bidang kesehatan, meliputi obat, vaksin, maupun alat kesehatan cukup besar. Namun, dia melihat ada yang hilang dan tidak ada jembatan antara riset hingga ke industri.
“Jembatan ini bukan masalah hilirisasi, bukan sekadar komersialisasi, tetapi ini masalah ril. Artinya, periset tidak mungkin bisa dan tidak memahami juga aspek industri, regulasi, pengujian, bagaimana prosedurnya, dan sebagainya,” papar dia.
Di sisi lain, bidang industri juga sangat berat bila harus masuk ke hulu karena mengandung risiko yang sangat besar. Pengembangan obat, vaksin, bahkan juga alkes adalah hal-hal berisiko tinggi karena tingkat kegagalannya tinggi.
“Justru di situlah peran BRIN, dengan segala sumber dayanya, setelah mengintegrasikan sumber daya riset dan inovasi di negara ini, yang dimiliki oleh pemerintah. Baik itu SDM, infrastruktur riset, maupun anggaran risetnya, BRIN akan masuk di tengah-tengah untuk menanggung risiko tersebut,” beber dia.
Handoko menyebut BRIN juga memfasilitasi periset, sehingga tidak perlu sampai harus memaksakan diri masuk ke ranah industri, karena itu satu dunia yang berbeda. Secara regulasi maupun secara etika di dunia kesehatan hal itu seharusnya dilakukan pihak berbeda.
Dia menuturkan BRIN mulai melansir skema fasilitasi pengujian produk inovasi kesehatan yang mencakup uji praklinis, uji klinis, dan lain-lain. Baik untuk riset obat, vaksin, maupun alkes.
“Skema fasilitasi ini dikelola oleh Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi BRIN, tetapi pada saat skema untuk industri dijalankan dan ditangani oleh Deputi Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN,” tutur dia.
Handoko menekankan skema tersebut terbuka bagi siapa saja. Sehingga gagasan riset untuk kandidat obat, vaksin, dan alkes bisa datang dari periset BRIN, kampus, komunitas, bahkan juga dari periset di bidang industri.
Kandidat tersebut apabila telah diterima akan ditetapkan oleh Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi BRIN untuk pembiayaan, proses pengujian, dan lain-lain. Kemudian, yang melakukan selanjutnya adalah tim dari Deputi Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN.
Fasilitasi itu tidak akan mengalir ke inventor langsung, tetapi akan digunakan oleh Deputi Pemanfaatan Riset dan Inovasi untuk membiayai tim pengujian yang dibentuk sesuai dengan standar dan regulasi yang berlaku.
Handoko menyebut hal ini untuk memastikan selain masalah independensi dari hasil uji itu sendiri, juga untuk memastikan proses tidak akan membebani periset dan industri. “Saat mulai dijalankan Deputi Pemanfaatan akan mencari mitra industri, karena hal ini dilakukan atas nama mitra industri. Jadi, mitra industri inilah, yang kami undang untuk menjadi calon mitra,” ucap Handoko.
Handoko menyebut bila hal itu tak berhasil tidak menjadi masalah. Hal itu risiko yang memang harus diambil dan ditanggung oleh pemerintah melalui BRIN.
“Namun, apabila berhasil, kami akan meminta lisensi. Relasinya itu tetap relasi Business to Business yang fair, transparan, dan terbuka. Memenuhi koridor regulasi keuangan, termasuk dalam konteks BRIN sebagai lembaga pemerintah, tetapi dari sisi bisnis itu juga sangat visible, dan transparan,” tutur Handoko.
Baca juga: Erick Thohir Ingin Indonesia Jadi Contoh Industri Kesehatan Global |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News