Semarang: Batik Semarang ternyata telah menempuh perjalanan sejarah cukup panjang serta memiliki ciri khas dan keunikan. Sehingga, layak dikembangkan dan dicatat sebagai warisan budaya.
Sejarawan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip), Dewi Yuliati mengatakan, keberadaan Kampung Batik di Kawasan Bubakan atau Jurnatan merupakan indikasi bahwa kerajinan batik sudah tumbuh dan berkembang di Semarang sejak wilayah ini menjadi sebuah kota.
Ia menjelaskan, di Jawa ada kebiasaan memberi nama kampung (toponim) di sekitar pusat-pusat kekuasaan berdasarkan mata pencaharian atau profesi warganya. Di sekitar Bubakan yang merupakan pusat pemerintahan Semarang kuno, selain ada Kampung Batik tempat para pengrajin batik tinggal dan berkegiatan, ada Kampung Pedamaran yang merupakan tempat perdagangan damar sebagai bahan pewarna batik.
Lalu, ada Sayangan yang merupakan sentra pengrajin alat rumah tangga berbahan perunggu. Selain itu, Petudungan, yang menjadi tempat pengrajin caping dan lainnya. "Keberadaan Kampung Batik dan Pedamaran menjadi indikator bahwa industri kerajinan batik sudah mengakar di Semarang," kata Dewi mengutip siaran pers Undip, Selasa, 16 Maret 2021.
Dewi Yuliati sudah melakukan beberapa penelitian sejarah Semarang sejak masa pembentukannya pada pertengah abad ke-16 sampai dengan abad ke-20.
Guru besar Ilmu sejarah dari Prodi Sejarah FIB Undip ini mengungkapkan, informasi tentang Bubakan sebagai pusat pemerintahan Semarang kuno termuat dalam Serat Kandhaning Ringit Purwo naskah KGB Nomor 7. Naskah ini menceritakan pada tahun 1476 Ki Pandan Arang I telah menetap di Pulau Tirang.
Peristiwa itu ditandai dengan candra sengkala Awak Terus Cahya Jati. Kemudian Ki Pandan Arang membuka tempat permukiman baru di daerah pegisikan atau pantai, dan menurut cerita tradisi tempat itu diberi nama Bubakan, berasal dari kata 'bubak' yang berarti membuka sebidang tanah dan menjadikannya sebagai tempat permukiman.
FOLLOW US
Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan