Petisi ini ditujukan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim. Setidaknya, pada 3 April 2020 pukul 17.00 WIB terdapat 46.610 orang sudah menandatangani petisi yang dibuat oleh salah seorang mahasiswa, Fachrul Adam tersebut.
Bahkan, jumlah tersebut terus bertambah dalam hitungan menit. Fachrul mengaku membuat petisi ini atas dasar kebingungannya terhadap penyelesaian tugas akhir di tengah pembatasan aktivitas saat pandemi.
"Terutama bagi saya dan beberapa teman-teman mahasiswa semester akhir. Saat ini kami kebingungan untuk menyelesaikan kewajiban kami menuntaskan tugas akhir di kampus kami," tulis Fachrul dalam petisi tersebut.
Baca juga: Skripsi di ITB, Penelitian Lapangan Diganti Studi Literatur
Petisi yang dimulai satu pekan lalu ini menyebutkan kendala terbesar dalam penuntasan tugas akhir ialah metode pembelajaran maupun bimbingan daring. Menurutnya dengan sistem yang ada saat ini penggarapan skripsi tidak berjalan efektif.
"Ditambah lagi, bagi kami mahasiswa semester akhir, harus melakukan pengumpulan data baik di kampus maupun di lapangan untuk melengkapi tugas akhir kami. Tentunya ini semua menjadi kendala besar yang tidak dapat diselesaikan melalui proses daring," kata dia.
Jika harus ditunda, hal ini menurutnya akan membawa dilema baru. Penundaan yang berujung pada penambahan masa studi tentunya akan membebani mahasiswa untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT).
"Apalagi di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil akibat mewabahnya covid-19. Kami tentunya tidak ingin menjadi beban lagi bagi orang tua dengan membayar biaya kuliah untuk semester selanjutnya, hanya demi menyelesaikan tugas akhir kami," tutup petisi itu.
Baca juga: FDTI: Peniadaan Skripsi Jangan Menurunkan Kualitas Penelitian
Menanggapi petisi mahasiswa, Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi, Nizam menegaskan jika biaya kuliah dan tugas skripsi menjadi otoritas kampus. Dia meminta kampus tak mempersulit mahasiswa selama masa darurat covid-19.
"Untuk karya tulis akhir tidak harus berupa pengumpulan data primer di lapangan atau laboratorium. Metode dan waktunya bisa beragam dan fleksibel sesuai bimbingan dari dosen pembimbing," terang Nizam kepada Medcom.id Jum'at 3 April 2020.
Dia juga mempersilakan universitas mengatur kembali jadwal dan metode ujian dengan memerhatikan situasi dan kondisi di kampus. Beragam metode tidak konvensional bisa dijadikan pilihan.
"Seperti dalam bentuk penugasan, esai, kajian pustaka, analisa data, proyek mandiri, dan lain-lain. Yang penting didasarkan pada learning outcome atau capaian pembelajaran yang diharapkan. Yang tidak boleh dikompromikan adalah kualitas pembelajarannya," lanjut Nizam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News