“Kalau makanannya tidak aman, maka tidak boleh disajikan,” tegas Sri Raharjo dikutip dari laman ugm.ac.id, Senin, 19 Mei 2025.
Dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM itu menjelaskan keracunan makanan bisa disebabkan oleh dua hal, yakni food intoxication atau keracunan akibat racun yang dihasilkan oleh bakteri dan food infection atau infeksi akibat mengkonsumsi bakteri patogen. Keduanya kerap terjadi tanpa tanda-tanda yang terlihat.
“Makanan bisa tampak dan terasa normal saat dikonsumsi, tetapi efeknya baru muncul beberapa jam atau bahkan keesokan harinya,” papar dia.
Raharjo menuturkan salah satu tantangan besar dalam program MBG adalah skala produksi yang sangat besar. Apalagi, menyediakan ribuan paket makanan membutuhkan manajemen ketat dalam setiap tahap, mulai dari pemilihan bahan baku, penyimpanan, hingga proses pemasakan.
“Kalau 3.000 paket makanan harus disiapkan, itu bukan urusan dapur rumah tangga lagi. Harus ada fasilitas, alat, dan orang yang kompeten,” ujar dia.
Keracunan makanan yang ditimbulkan berasal dari kesalahan atau kelalaian dari pengelola menu seperti bahan mentah tidak disimpan dengan benar, daging tidak dimasak merata, atau peralatan yang tidak higienis. Misalnya, daging yang tampak matang di luar belum tentu telah mencapai suhu 75°C di bagian dalam suhu minimal yang diperlukan untuk membunuh bakteri patogen.
Bahkan, bisa terjadi dari pemilihan bahan baku mengandung risiko. “Daging dari pasar tradisional, misalnya, kerap tidak dibersihkan dengan baik setelah proses pemotongan sehingga rentan terkontaminasi oleh kotoran atau isi usus hewan,” ungkap dia.
Raharjo menuturkan ada tiga hal yang bisa dilakukan pemerintah, yakni kesadaran, kapasitas, dan kontrol. Semua pihak baik penyedia, pelaksana, hingga pengawas harus memahami risiko dan menerapkan standar keamanan pangan secara disiplin.
Mulai dari penggunaan lemari es yang memadai, alat masak berkapasitas besar, hingga prosedur memasak yang memastikan setiap bagian makanan benar-benar matang. “Kalau tidak tuntas panasnya, bakteri masih bisa hidup dan itu bisa menyebabkan sakit,” tegas dia.
Ia juga menekankan memasak dalam skala besar memerlukan waktu lama. Hal ini menjadi salah satu faktor kunci terjadi atau tidaknya kontaminasi.
Meskipun bahan makanan sudah terjamin aman, makanan tetap bisa terkontaminasi selama proses pengolahan bila tidak ditangani dengan benar. Raharjo menyarankan agar jumlah produksi makanan dalam program MBG dikurangi.
Ia memberikan contoh melalui sekolah-sekolah yang telah menyediakan makan siang sebelum program MBG. “Beberapa sekolah kan sudah ada yang menjalankan program semacam ini, skalanya lebih kecil karena hanya untuk satu sekolah saja. Jadi, pemerintah bisa bekerja sama dengan sekolah sehingga sekolah-sekolah itu kemudian bertanggung jawab dengan makanan siswanya masing-masing,” ujar dia.
Dia juga menilai program MBG terlalu terburu-buru. Mengingat, Badan Gizi Nasional menargetkan peningkatan jumlah penerima MBG hingga 82,9 juta orang di tahun ini.
“Saya menyebutnya too much, too soon. Harusnya sekarang fokus pada skala kecil dulu, dibenahi, setelah itu baru pelan-pelan sekolah lainnya mulai dapat bagian,” tutur dia.
Program MBG diharapkan dapat mencapai tujuan tanpa mengorbankan kesehatan siswa dengan memperhatikan standar keamanan pangan dan skala produksi yang sesuai. Kolaborasi lintas sektor dan evaluasi berkelanjutan menjadi kunci agar insiden serupa tidak terulang di masa mendatang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id