Nurul mengatakan ada kondisi tertentu ketika seseorang dapat dikatakan memiliki pola buruk dalam bermedia sosial. “Ketika kemudian mengurangi perilaku produktif dari individu yang menggunakan, sehingga lebih banyak memunculkan kegiatan yang justru kontraproduktif,” kata Nurul dikutip dari laman unair.ac.id, Rabu, 7 Mei 2025.
Dia menjelaskan setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing dalam tatanan masyarakat. Media sosial dapat menjadi pendorong maupun penghambat perilaku produktif seseorang.
Apabila seseorang justru mendapatkan hal-hal yang kontraproduktif dari media sosial, saat itu pola perilaku dalam bermedia sosial perlu diperbaiki. Dia juga menyinggung perilaku negatif yang muncul akibat media sosial.
“Apalagi kalau itu menimbulkan perilaku negatif, baik secara kognitif maupun secara emosi. Ya kita kenal dengan istilah fear of missing out,” papar dia.
Baca juga: Fenomena Brain Rot, Ancaman Penurunan Kognitif di Era Digital |
Nurul menyebut pada dasarnya, informasi di media sosial cenderung informasi ringan. Apabila dikonsumsi berlebihan tanpa diimbangi literasi lain berkualitas, ini akan menyebabkan penurunan kognitif seseorang.
Sebab, informasi yang seseorang terima akan memengaruhi sistem sarafnya. “Yang dibaca di media sosial itu kan tidak terlalu dalam. Akan berbeda jika yang kamu baca adalah buku, jurnal, literatur secara formal yang memang memberikan kita informasi yang dalam dan luas,” ujar Nurul.
Pembatasan media sosial dan gadget perlu dilakukan bagi setiap jenjang usia. Bagi anak-anak, lingkungan sekolah dan keluarga harus menjadi pengawas dalam membentuk perilaku bermedia sosial yang sehat.
Namun, beranjak dewasa, kesadaran seseorang perlu untuk muncul dengan sendirinya. “Pada orang dewasa manajemen itu memang harus sudah diletakkan pada dirinya sendiri,” tutur dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News