Salah satunya, cara berpakaian dan pakaian adat yang dikenakan. Keanekaragaman tersebut menunjukkan melimpahnya seni dan budaya di setiap daerah di Indonesia.
Begitu juga dengan masyarakat Jawa khususnya yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat Jawa memiliki kain tradisional khas, yaitu Batik dan Lurik.
Dosen Jurusan Pendidikan Teknik Boga dan Busana Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Afif Ghurub Bestari mengatakan lurik berasal dari bahasa Jawa lorek atau larik yang artinya garis.
“Lurik, sesuai dengan namanya yang di beberapa daerah juga disebut Larik atau Lorek, melambangkan kesederhanaan, kejujuran, pengarahan, kebijaksanaan dalam berpikir, bahkan sampai pada kekuatan. Lurus dan kuat seperti garis,” kata Afif dikutip dari laman uny.ac.id, Rabu, 10 Agustus 2022.
Afif memaparkan setiap ukuran garis, warna, dan corak juga mengisyaratkan kedalaman selera dan pola pikir masyarakat Jawa. Kain lurik yang dihasilkan dari proses menenun ini pada mulanya menjadi bahan pakaian bagi masyarakat Jawa, mulai dari masyarakat awam.
Selain itu, kain lurik juga digunakan sebagai selendang, baik sebagai kemben (pakaian wanita pada bagian atasnya yang hanya dililitkan saja), maupun sebagai alat untuk membawa (menggendong suatu benda atau anak dengan menempelkan kain lurik pada bahu).
Afif menyebut sebagai bukti lain lurik sudah ada sejak zaman dahulu, yaitu penggambaran kain lurik pada relief candi Borobudur. Selain itu, terdapat pula Prasasti Raja Erlangga di Jawa Timur.
Prasasti tersebut menyebutkan bahwa kain Tuluh Watu merupakan salah satu nama dari kain Lurik, yaitu kain dengan motif sederhana juga dipercaya sebagai simbol harapan, nasihat, dan kekuatan. Karena itu, kain lurik juga dikaitkan dengan makna pengobatan dan penyembuhan. Sehingga, pada zaman dahulu banyak penjual jamu menggunakan atau memakai kain lurik.
Afif menjelaskan ada beberapa motif lurik yang terkenal di DIY di antaranya Udan Liris. Dalam bahasa Jawa, Udan Liris berarti Hujan Gerimis.
Garis-garis yang terdapat pada motif lurik tidak sama ketebalannya, namun ada bagian-bagian tertentu yang samar-samar menghilang, begitu juga dengan jatuhnya rintik hujan. Sama seperti hujan yang diharapkan turun di lahan pertanian, motif ini melambangkan kesuburan dan kemakmuran.

Dosen UNY Afif Ghurub Bestari. DOK UNY
Sedangkan motif Kluwung memiliki garis-garis lebar dengan berbagai warna. Lurik ini dipercaya sebagai repellant (penolak bahaya) atau untuk meminimalisir aura negatif, sehingga muncul aura positif.
“Masih ada juga motif Sapit Urang yang merupakan simbol taktik pertempuran. Oleh karena itu sering digunakan untuk pakaian tentara. Garis geometris lurus kanan dan kiri diharapkan menjadi fokus pada gawang,” jelas dia.
Afif menyebut adapula motif lurik Tumbar Pecah di mana tumbar atau ketumbar adalah salah satu rempah-rempah di Indonesia. Tumbar berbentuk bulat tetapi memiliki serabut lurus.
Sehingga, jika dibelah akan berbentuk seperti pertemuan garis lurus yang berbeda arah. Selain itu, jika pecah, tumbar mengeluarkan aroma yang harum.
Untuk itulah mereka yang memakai motif ini diharapkan menjadi orang yang berguna dan mampu mengharumkan nama bangsa. Dua motif lurik yang lain adalah Telupat dan Tuluh Watu.
Magister lulusan Pascasarjana UNY itu menjelaskan motif Telupat memiliki arti Telu (Jawa) yang berarti tiga dan Papat (Jawa) yang berarti empat. Sampai jumlahnya Pitu atau tujuh. Pitu, diartikan sebagai Pitulungan (pertolongan) dari Tuhan, dan Pitutur (nasihat) untuk kebaikan.
Sehingga, diharapkan kehidupan pemakai Lurik Telupat selalu diberkati dan sejahtera. Sedangkan, Tuluh Watu papat diartikan sebagai batu yang bersinar atau kuat. Sebab, Watu berarti batu dan Tuluh berarti bersinar atau kuat.
Itulah sebabnya kain ini menjadi simbol kekuatan. Baik dalam menghadapi kehidupan, menjalani penghidupan, maupun simbol melawan kejahatan.
Afif mengatakan selain nama-nama motif lurik yang sudah ditulis sebelumnya, masih banyak jenis kain lurik lainnya. Dengan kemungkinan berkreasi dan berinovasi, kini muncul variasi-variasi baru seiring perkembangan motif lurik. Baik ukuran garis, kombinasi warna dan paduan, maupun ukuran benang tenun.
“Jika ada yang beranggapan bahwa motif lurik monoton atau statis tidak variatif seperti kain tenun lainnya itu kurang tepat. Karena justru dengan motif garis-garis memudahkan untuk membuat berbagai desain. Termasuk dipadukan dengan tenun lain dan kain lainnya” kata Afif.
Namun, dari aspek budaya, jika yang digunakan adalah menenun motif tertentu, tetap perlu dipahami makna dan filosofi di dalamnya. Sebagai warisan budaya bangsa Indonesia, tentunya warga negara Indonesia wajib menjaga keberadaan kain lurik dan mengembangkannya.
Afif mengajak generasi muda Indonesia berupaya untuk selalu memberikan edukasi kepada masyarakat tentang keberadaan kain lurik, termasuk makna di dalamnya, dan bukan hanya kain bergaris. Serta meningkatkan produksi serta solusi pemasaran sekaligus menciptakan inovasi baru dan lebih sering berpartisipasi dalam pameran tekstil dan peragaan busana.
Dia berharap dengan upaya tersebut kain lurik akan selalu terjaga eksistensinya sebagai warisan budaya bangsa Indonesia dan bisa terkenal di seluruh dunia seperti halnya kain Batik.
Baca juga: Kisah Koko Triantoro, Alumnus UNY yang Dedikasikan Diri Sebagai Guru di Wilayah 3T |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News