ANT/Feny Selly.
ANT/Feny Selly.

Kurikulum SMK Didesain Berbasis Industri

70 Persen Kurikulum SMK Disusun Industri

Intan Yunelia • 02 Juli 2018 11:11
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan porsi 60-70 persen dalam penyusunan kurikulum Sekolah Menegah Kejuruan (SMK) untuk ditentukan oleh dunia industri.  Langkah tersebut dilakukan untuk meningkatkan keselarasan antara dunia pendidikan dan industri, sekaligus mempercepat daya serap lulusan.
 
Sejumlah keluhan kerap disampaikan kalangan dunia usaha dan industri kepada Mendikbud terkait ketidaksiapan lulusan pendidikan SMK saat masuk dunia kerja.  Kondisi tersebut ditengarai karena adanya ketidakselarasan antara apa yang diajarkan di bangku sekolah, dengan apa yang dibutuhkan di dunia kerja.
 
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengungkapkan, kondisi tersebut harus segera diubah.  Yakni dengan melibatkan dunia industri lebih banyak lagi ke dalam dunia pendidikan, terutama dalam hal penyusunan kurikulum.

"Dulu kita membikin kurikulum bisa apa saja terserah, mau dipakai atau tidak (oleh industri). tapi sekarang tidak bisa begitu lagi. Menyiapkan kurikulum, 60 persen sampai 70 persen kurikulum yang menentukan dunia industri," kata Mendikbud, di Jakarta, Senin 2 Juli 2018.
 
Terobosan itu dimasukkan oleh Muhadjir ke dalam program revitalisasi SMK yang belakangan tengah gencar dilakukan.  Tidak hanya itu, revitalisasi SMK juga harus dibarengi dengan memutakhirkan peralatan praktikum yang ada.
 
"Mendesain SMK fleksibel agar dapat merespon perubahan dan bersiap menghadapi situasi yang paling tidak diperhitungkan," tegasnya.
 
Berbasis Industri
 
Hal senada juga diungkapkan Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri. Ia menilai kurikulum pendidikan yang berbasis industri sangat efektif untuk menguasai pasar secara kekinian. Karena harus sinkron antara keterlibatan industri dan kurikulum yang didesain.
 
“Kalau kita tidak melakukan, pasti yang membuat kurikulum siapa, yang membutuhkan tenaga kerja siapa. Jadi bisa jalan sendiri-sendiri, " kata Hanif dalam keterangan tertulis yang diterima Medcom.id.
 
Sebagai contoh  perusahaan besar industri otomotif yang menguasai pasar di Indonesia bekerjasama dalam penyusunan kurikulum dengan sekolah kejuruan. Dengan kerjasama ini akan menghasilkan tenaga kerja yang diinginkan.
 
“Paling cuma 4-5 brand utama di industri tertentu, suruh mereka kumpul buat kurikulum kejuruan. Pasti lebih sesuai karena brand-brand di bawah mereka, pasti akan memakai. Ini simpel sekali " ucap Hanif.
 
Baca: Revitalisasi SMK Diperluas ke 350 SMK
 
Berkaca pada hasil riset yang paparkan oleh McKinsey Global Institute mengatakan bahwa Indonesia diprediksi akan menjadi negara perekonomian terbesar ketujuh pada tahun 2030. Karena Indonesia akan menghadapi era transformasi industri generasi 4.0 sekaligus menghadapi bonus demografi di tahun tersebut.
 
Untuk itu, yang perlu direncanakan dari sekarang hingga 15 tahun kedepan adalah penambahan tenaga kerja yang terampil. Jika dihitung dibutuhkan 3,8 juta pekerja setiap tahunnya.
 
“Data tahun 2015, tenaga terampil Indonesia sebanyak 56 juta orang,” terang Hanif.
 
Menurut Hanif, saat ini lulusan perguruan tinggi di Indonesia per tahun mencapai sekitar 800 ribu orang. Jika diasumsikan seluruh lulusan tersebut memiliki kompetensi yang bagus, jumlahnya masih kurang.
 
"Maka untuk menambah tenaga terampil sebanyak 3,8 juta orang per tahun, sudah terbukti tidak dapat hanya mengandalkan jalur pendidikan, tapi kita juga butuh terobosan dari pendidikan vokasi dan pelatihan kerja ," pungkas Hanif.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan