"Buat hidup kita bermakna. Hidup bukan tentang durasi, tetapi tentang kontribusi," ungkap Audina, dikutip dari siaran pers UNS, Rabu, 27 Juli 2021.
Audina tergabung dalam sebuah tim bersama enam orang lainnya yang memiliki bidang keahlian masing-masing. Wanita asal Sukoharjo ini menjelaskan bahwa Nusantara Sehat berfokus pada program inovasi. Salah satu fokus utama yang dilakukan ialah inovasi pada pelayanan Puskesmas.
Baca: Kisah Dua Vaksinator Muda UNS Ambil Peran Melawan Covid-19
Sebagai seorang bidan, Audina memiliki beberapa tugas untuk melakukan pemeriksaan ibu hamil, pelayanan program Keluarga Bencana (KB), memeriksa tumbuh kembang bayi dan balita, serta membantu persalinan di Puskesmas. Ia dan tim memberikan pelayanan kesehatan primer yang terintegrasi, tidak hanya fokus kuratif, tapi juga ada promotif dan preventifnya.
"Jadi kita juga bertugas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas pentingnya kesehatan. Minimal sadar untuk berperilaku hidup bersih dan sehat," ungkapnya.
Audina memang mengaku bercita-cita menjadi tenaga kesehatan. Gagal menempuh studi Kedokteran tidak menyurutkan tekadnya, ia pun memilih belajar di Prodi Kebidanan. Ia ingin memberikan pelayanan kesehatan yang sama kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang bulu.
"Enggak bisa lihat hal-hal begitu (perlakuan berbeda dalam pelayanan kesehatan). Aku harus terjun langsung ke masyarakat, enggak bisa kalau koar-koar doang. Aku ingin mengabdikan diri di perbatasan Indonesia," ucap dia.
Audina melihat program Nusantara Sehat yang memiliki visi misi untuk menguatkan pelayanan kesehatan primer di daerah perbatasan, sangat cocok dengan cita-citanya. Saat ini, ia pun benar-benar ada di Kepulauan Aru yang cukup dekat dengan Australia.
"Ini cita-cita yang Alhamdulillah terkabul. Meski dikasih waktu 2 tahun, tapi semoga maksimal dan bisa menegakkan cita-citaku," katanya.
Audina mengatakan sebagai tenaga kesehatan sudah pasti harus siap 24 jam dengan keadaan apapun. Apalagi, sebagai bidan yang harus membantu para ibu melahirkan yang mana tidak dapat ditentukan jam kelahirannya. Selain itu, bidan harus siap mental karena menyelamatkan dua nyawa sekaligus, yaitu ibu dan bayi.
Audina juga menceritakan tantangan yang lebih khusus dihadapi selama di Aru. Tantangan pertama dan menjadi tantangan terbesar ialah bagaimana mengedukasi masyarakat dengan berbagai keyakinan dan tradisinya untuk persalinan di Puskesmas.
Baca: Viral TikTok, Dian Lulus di Meiho University Setelah Sempat Dinyinyirin Tetangga
Ia mengatakan, masyarakat setempat lebih suka melahirkan dengan bantuan dukun bayi. Mereka merasa aman dan selamat melahirkan bersama dukun bayi, sehingga tidak perlu pergi ke Puskesmas.
"Terlebih masyarakat meyakini bahwa ibu bersalin dari pertama sampai 40 hari tidak boleh menginjak tanah sama sekali. Jadi ketika lahiran di Puskesmas ya menyalahi budaya mereka," ujarnya.

Audina Sholica, bidan muda lulusan UNS yang mengabdi di perbatasan. Foto: UNS/Humas.
Di sisi lain, bahasa yang digunakan juga berbeda. Audina dan kawan-kawan pun harus mendekati secara kultural, seperti menggunakan bahasa setempat. Tidak ketinggalan, koordinasi dilakukan dengan tokoh-tokoh adat dan tokoh-tokoh agama.
"Contoh ada ibu bersalin, (tradisinya) sampai rumah harus ada perapian di kamar. Padahal itu tidak baik untuk pernapasan bayi, bisa ISPA. Kita tidak bisa langsung bilang tidak boleh. Kita dekati tokoh adat, biarkan tokoh adat yang bilang ke warganya, kita dampingi," tutur Audina.
Tantangan kedua, Puskesmas Kabalsiang memiliki status sangat terpencil dan berada di pulau yang terdiri dari dua desa dengan laut di sekelilingnya. Jika ingin keluar desa, harus memakai perahu atau kapal motor. Bahkan, untuk menuju kota diperlukan waktu minimal 10 jam. Kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri ketika para nakes akan merujuk pasien ke kota.
Ketiga, pelayanan Puskesmas Kabalsiang ini diperuntukkan bagi masyarakat 5 daerah, yang mana tiga di antaranya berada di luar pulau lokasi Puskesmas. Dengan demikian, mereka harus siap melayani pasien dari luar pulau.
"Belum lagi kalau kita mempertimbangkan dari cuaca laut. Ada gelombang tuh enggak ada yang berani ke kota. Lalu kalau menangani pasien ke luar pulau, lima jam nunggu infus, tapi kadang enggak bisa langsung pulang karena airnya surut. Kadang harus menginap karena nunggu airnya naik," ungkap Audina.
Baca: Pelajar Indonesia Sabet Emas Olimpiade Biologi Internasional
Keempat, keterbatasan listrik yang mengandalkan panel surya, sehingga jam 6 atau 8 malam baru ada listrik. Air pun juga terbatas karena menggunakan air hujan. Kelima, peralatan yang tidak layak dan lengkap. Namun, keterbatasan ini justru menjadi pemacu untuk meningkatkan kreativitas.
"Kita tidak boleh menyerah. (Jangan berpikir) kalau enggak ada alat ini berarti tidak bisa ini dong. Tidak, kita jadi kreatif. Satu alat ternyata bisa buat beberapa hal," tambahnya.
Audina menyematkan harapan dan memberikan semangat bagi para nakes, khususnya para bidan (sebagaimana profesinya) untuk tetap semangat dan tangguh menyelamatkan ibu dan bayi meski di tengah pandemi.
"Jangan lupa kunci bidan itu ada tiga. Head, hand, and heart. Jangan lupa mengasihi ibu dan bayi dengan hati dan cinta. Kebahagiaan terbesar adalah menjadi ibu, kebahagiaan terbesar kedua adalah menjadi bidan. Semangat untuk para bidan-bidan tangguh!" ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id