Mengutip laman Kementerian Agama (Kemenag), Zainul mengungkapkan kalau cita-citanya untuk menjadi guru agama tidak didapatkan dengan mudah. Lulus dari Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta pada 1997, Zainul sempat bekerja di perusahaan jasa ekspedisi yang berlokasi di Jakarta.
Pekerjaan tersebut ia lakoni selama empat tahun. Sampai akhirnya, ia dinyatakan lolos seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pada 2002 Kementerian Agama melalui formasi Guru PAI.
Baginya, yang paling berkesan selama bertugas sebagai Guru PAI adalah ketika mengajarkan membaca Alquran kepada peserta didik tunanetra hingga mereka mampu membacanya dengan baik dan benar serta mengamalkan isi kandungannya.
"Yang paling berkesan bagi saya pertama adalah mengajarkan Alquran Braille kepada para murid dan kedua mengajarkan nilai-nilai akhlak, sehingga pada akhirnya murid-murid saya mampu membaca Alquran dengan baik dan benar serta bersungguh-sungguh mengamalkan akhlak yang baik. Bagi saya ini merupakan kepuasan batin yang amat luar biasa," cerita Zainul.
Ia pun merasa bangga, bahwa di antara murid-muridnya ada yang memiliki hafalan Alquran lebih dari 1 juz. Menurutnya, hal ini merupakan tren positif yang sedang menggejala di kalangan peserta didik tunanetra.
"Anak-anak itu banyak yang ingin menjadi hafiz, dan ini buat saya suatu perkembangan yang menggembirakan. Murid saya setidaknya ada dua orang yang sudah memiliki hafalan lebih dari 1 juz. Jadi, di samping mereka belajar membaca sesuai kaidah ilmu tajwid, mereka juga berusaha untuk menghafalkannya," terangnya.
Namun demikian, seringkali kenyataan hidup tak selamanya ditaburi sesuatu yang menyenangkan. Raut wajah Zainul berubah getir, nafasnya menghela berat saat menceritakan kondisi keluarga murid-muridnya.
Murid-murid Zainul, kebanyakan dari keluarga prasejahtera atau tidak mampu, dan umumnya kalangan tunanetra. Ditambah yang menyandang tunanetra bukan hanya satu dua orang, ada yang hampir satu keluarga menyandang tunanetra semuanya.
"Ini keadaan yang harus saya hadapi, tidak bisa saya meminta lebih dari mereka. Semisal pembelajaran jarak jauh seperti sekarang ini, satu rumah hanya ada satu telepon seluler, sehingga saya harus maklum dengan kondisi murid-murid saya," cerita Zainul.
Persoalan lain yang memicu keprihatinannya adalah pemberantasan buta huruf Alquran Braille yang belum tuntas. Masih banyak penyandang tunanetra yang belum mampu membaca Alqurab Braille.
"Angka yang saya dapat dari sebuah penelitian, tunanetra muslim di Indonesia ini tidak lebih dari 5 persen yang mampu membaca Alquran Braille. Darurat buta huruf Alquran Braille istilahnya, dan ini harus menjadi keprihatinan kita bersama," ungkapnya.
Zainul berharap pemerintah khususnya Kementerian Agama, dapat lebih memberikan perhatian terhadap pemberantasan buta huruf Alquran Braille. Sebab, menurut dia, institusi pemerintah yang mampu mengoptimalkan sumber daya untuk pemberantasan buta huruf Alquran Braille.
"Saya berharap Kementerian Agama dapat mengambil peran dalam pemberantasan buta huruf Alquran Braille. Pemerintah dengan segala jaringannya yang mampu menggerakkan segala sumber daya demi pemberantasan buta huruf Alquran Braille ini," ungkap Zainul.
Sebagai orang berkebutuhan khusus dan bertugas mengajar peserta didik bernasib serupa, tidak menyurutkan langkah Zainul untuk mengabdi sepenuh hati. Langkahnya mantap untuk selalu merajut asa di tengah ruang gelap yang menjadi takdir kehidupannya.
"Pegangan saya dua, pertama saya yakin bahwa Allah tidak membebani di luar kesanggupan kita. Kedua, saya yakin bahwa Allah memberikan segala kemampuan kepada kita untuk menghadapi masalah, jadi satu paket. Selama saya bertawakal, Insyaallah akan selalu ada jalan untuk memecahkan masalah yang terjadi," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News