Jakarta: Tangis Filza Paranza tiba-tiba meledak di sudut asrama Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Siwalima, kota Ambon 2011 lalu. Sementara di ujung telepon, masih terdengar suara kecemasan orang tua Filza.
Hari itu, 11 September 2011 konflik sosial kembali pecah di ibukota provinsi Maluku ini. Suasana genting. Mencekam. Guru di sekolah pun kewalahan menerima telepon orang tua siswa.
“Kami memberi jaminan kepada orang tua, di sini (asrama sekolah) lebih aman,” kata guru pengampu mata pelajaran Sejarah SMAN Siwalima, Zeth Pieter Sinay kepada Medcom.id, Senin, 9 Agustus 2021.
Orang tua Filza ingin menjemputnya pulang. Namun Filza menolak, ia berkukuh ingin tetap di asrama bersama guru dan teman-temannya.
“Kami sudah membujuknya, agar mengikuti ajakan orang tua untuk pulang,”:tutur Zeth..
Zeth terus bertanya, kenapa Filza tidak mau pulang, di sana mungkin orang tua khawatir. “Kemudian kami mendapatkan jawaban yang luar biasa dari Filza ‘Saya pulang mungkin bisa merasa tenang di rumah, tapi bagaimana dengan teman-teman saya di sini (di asrama),’” tutur Pieter menirukan kalimat Filza kala itu.
Rasa solidaritas yang diungkapkan Filza sontak membuat Zeth terharu. Sebuah pemandangan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, terlebih jika melihat sejarah konflik sosial di kota tersebut.
Baca juga: Sejak Dini Semai Kebinekaan, Tuai Pelajar Pancasila Kemudian
Dalam sejarahnya, sekolah yang terletak di Waiheru, kota Ambon ini didirikan tak semata untuk menampung siswa. Di pundak Siwalima juga memikul misi besar sebagai wadah rekonsiliasi pascakonflik Ambon yang berlangsung sejak 1999-2004 ini.
Sekolah berasrama tak hanya merekrut siswa berprestasi, namun juga memperhatikan keberagaman suku dan agama siswa yang berasal dari 11 kota/kabupaten di Maluku.
“Siswa kami tidak boleh homogen,” terangnya.
FOLLOW US
Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan