Melalui pelabuhan inilah, akses utama menuju surga tersembunyi di Desa Matakus, Kecamatan Tanimbar Selatan. Di tengah perjalanan, di atas perahu nelayan yang membawa tim menuju Desa Matakus, salah seorang penumpang bertutur tentang panorama indah Matakus.
Hamparan pasir putih, rumah tradisional, air laut yang jernih, hingga kehangatan masyarakatnya. Perahu nelayan tradisional itu adalah satu-satunya alat bantu menuju Desa Matakus.
Dari penuturan tersebut, keindahan Desa Matakus seolah sudah tergambar jelas sepanjang perjalanan. Meski langit saat itu cerah, salah satu awak kapal mengingatkan, kondisi ombak dan cuaca saat itu sedang tak bersahabat.
Jadwal pelayaran ke Desa Matakus memang tak menentu. Bergantung penuh dengan kondisi cuaca, angin, ombak, juga hujan.

Anak-anak Desa Matakus menghabiskan senja dengan bermain di pesisir pantai. Foto: Medcom.id/Intan Yunelia
Dengan perahu tradisional, masyarakat hanya mengandalkan insting untuk memprediksi kondisi cuaca. Tim pun disarankan tidak membawa barang-barang yang bermuatan lebih.
“Tas dan semua barang berharga, masukkan ke dalam kotak di perahu saja. Laut lagi-lagi tidak bersahabat,” kata seorang laki-laki yang kebetulan juga ikut mendampingi Tim ke Desa Matakus.
Satu jam perjalanan tak terasa, perahu segera berlabuh di Desa Matakus. Panorama alam yang tak ternilai harganya menyambut, sungguh sulit ditemui di kota-kota besar.
Sejauh mata memandang, hamparan pantai berpasir putih, rimbunan pohon kelapa dan rumah-rumah adat tradisional.
Tim menemukan hal menarik, yakn pesona Desa Matakus yang kontras dengan kondisi pendidikan anak-anak yang belum memadai. Di balik keindahan alamnya, Matakus masih menyimpan segudang persoalan pendidikan.
Tim tiba, disambut 30 orang warga sudah menanti kedatangan rombongan PKBM Ngrias Melar dan Dinas Pendidikan Tanimbar. Salah seorang perangkat desa Foni menuturkan, warga yang menyambut kedatangan rombongan merupakan parapeserta didik keaksaraan dasar di PKBM Ngrias Melar.
Dari situ, Foni mulai bercerita berbagai kendala dan kekurangan di Desa Matakus, terutama minimnya sarana dan prasarana pendidikan. Wajar saja tingkat pendidikan di desanya mayoritas hanya lulusan sekolah dasar.
“Desa ini hanya memiliki satu SD, dan satu SMP. Kalau SMA tidak ada,” tegas Foni.
Salah satu tokoh adat yang ikut bersama rombongan, Joanis Jempormase mengamini cerita Foni. Ia tak mengelak masih banyak masyarakat adat yang belum mengenal baca tulis.
“Mereka putus sekolah karena keterbatasan ekonomi dan tidak ada perhatian untuk sekolah,” kata Joanis.
Keadaan seperti ini berlangsung puluhan tahun. Hingga pada akhirnya di 2015 lalu, berdirilah Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) yang diberi nama Ngrias Melar. Lewat biaya swadaya awalnya, PKBM Ngrias Melar membuka kegiatan mengenal baca tulis, kesetaraan pendidikan hingga program kewirausahaan.
Desa Matakus di Kecamatan Tanimbar Selatan salah satu desa dengan penyandang buta aksara yang tinggi. Tingginya angka penyandang buta aksara dilatarbelakangi tingkat ekonomi yang rendah. Mayoritas masyarakat hanya berpendidikan setara SMP.
Ketua PKBM Ngrias Melar Pius Alaraman Batlyare melihat fakta ini menjadi keprihatinanya. Hal inilah yang menggugah dirinya untuk mendirikan PKBM.
Ia mencatat tak kurang masih ada 700 warga menyandang buta huruf di Desa Matakus. Mirisnya, dari angka penyandang buta aksara, 80 persen di antaranya memasuki usia produktif.
“Umurnya rata-rata 13-59 tahun yang mengalami buta aksara karena putus sekolah dan masalah ekonomi,” ujar Pius.
Budaya yang turun temurun diwarisi dari orang tua, memasuki usia dewasa, masyarakat lebih mementingkan memenuhi kehidupan ekonomi mereka sehari-hari. Masyarakat tak memandang pendidikan sebagai suatu hal yang penting.
Pius sadar, mata rantai ini harus diputus. Ia tak ingin buta aksara diwariskan kepada anak-anak generasi muda di Tanimbar. Ia tak ingin tanah kelahirannya yang harus terus-terusan berkutat dalam kemiskinan dan kebodohan karena minimnya pendidikan.
“Saya termotivasi untuk berperan penting dan berkewajiban untuk menyelamatkan mereka dari sisi pengangguran tadi dan sisi ekonomi yang tidak mampu,” kata Pius.
Lambat laun perjuanganya mengentaskan buta aksara mulai mendapat perhatian dari pemerintah. Sejak 2015, Kemendikbud mengucurkan dana untuk lembaga pendidikan nonformal lewat program Kompetensi Dasar Komunitas Adat Terpencil (KD KAT) di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Masyarakat.

Suasana belajar keaksaraan di PKBM Ngrias Melar di Tanimbar, Maluku. Foto: Medcom.id/Intan Yunelia
Mengajarkan baca tulis ke masyarakat diakui Pius sangatlah sulit. Terlebih di tengah kesibukan mereka bekerja sehari-hari. Rasa gengsi dan malu karena usia yang tak lagi muda.
Beruntung, ada orang-orang yang memilki kepedulian dan perhatian serupa dengannya. Ia dibantu para tutor dari pintu ke pintu mengajak masyarakat mau belajar.
“Kita kemarin itu dengan mengubah cara pembelajarannya dan strategi pembelajarannya. Karena usia dewasa kita pisahkan dengan usia sekolah biar tidak malu. Kita sudah berusaha mengumpulkan mereka tapi yang datang cuma dua sampai 10 orang. Niat belajar mereka masih kurang," jelas Pius.
Ia dibantu dengan lima tutor tak lelah mengajak warga mau belajar baca tulis. Meski tak jarang mengorbankan waktu dan tenaga bahkan materi mereka sendiri demi kegiatan PKBM tetap berjalan.
Salah satu tutor, Gotlif Slarmanat menceritakan ketika awal PKBM berjalan, ia berkeliling kampung dengan pengeras suara mengajak masyarakat mau datang ke kelas untuk belajar baca tulis. Namun, ajakan itu sepi respons, warga enggan datang.
Tak habis cara, Gotlif menggunakan siasat jemput bola. Ia meluangkan waktu bertandang dari satu rumah ke rumah lainnya mengajar warga baca tulis
.
Dengan sepeda motornya, ia telaten dan tekun berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya, membujuk warga buta aksara agar mau belajar.
Keterbatasan waktu belajar pun disiasati dengan mencari celah di saat warga berkumpul. Momen pertemuan dan kumpulnya warga biasanya setelah ibadah di gereja pada hari Minggu.
“Kita sering bertatap muka di hari Minggu di gereja. Bisa sehari itu dari jam 11.00 WIT hingga sore hari,” Imbuhnya.
Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pendidikan di tengah masyarakat adat terpencil ditambah ekonomi yang rendah memang tidak mudah.
Pria 40 tahunan itu pun sama, ia berangkat sebagai penyandang buta aksara. Ia sama sekali tak memiliki latar pendidikan tinggi. Putus sekolah sejak kelas 2 SD. Namun kemudian Gotlif sadar, lewat pendidikanlah satu-satunnya cara mengangkat derajat sosial dirinya dan keluarganya serta lingkungannya.
Ia tak ingin kondisi generasi muda bernasib sama seperti dirinya yang tak lulus SMA karena kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Terlebih, ibunya seorang janda dan hanya bekerja serabutan hanya cukup menyambung untuk kehidupan sehari-harinya.
Ijazah SMAnya didapat lewat program kesetaraan paket pendidikan di PKBM Ngrias Melar. Setelah mendapatkan ijazah paket SMA, ia memantapkan diri mengabdi di PKBM Ngrias Melar.
Lewat PKBM Ngrias Melar, ia menjadi satu dari sekian warga yang berhasil lepas dari buta huruf dan kini berjuang untuk mengentaskan warga-warga lainnya yang masih belum mengenal baca tulis.
“Saya kalau bisa memperkuat kegiatan PKBM ini untuk menyelamatkan generasi muda ke depannya. Karena sayang ketika tidak diperhatikan sekarang otomatis akan terjadi krisis kepemimpinan di Kepulauan Tanimbar,” ujar Gotlif.
Perjuangan Pius, Gotlif dan kawan-kawannya tak sia-sia. Salah satu peserta yang kini sedang menempuh pendidikan S1 meski ijazah SMA-nya lewat program kesetaraan atau paket.
Ini menjadi pelecut warga lainnya agar mau belajar dan bebas dari buta aksara. Salah satunya, Yakoba Nety. Ia menjadi warga belajar kebanggaan PKBM Ngrias Melar. Mula-mula kemampuan baca tulisnya terbatas karena hanya mengenyam pendidikan hingga sekolah dasar saja.
Ia berhasil dientaskan dari buta aksara. Ia pun berhasil meraih ijazah kesetaraan paket C. Bermodal ijazah paket C, Netty tak minder. Baginya pendidikan tak mengenal waktu dan usia.
Kini ia sedang menempuh pendidikan di Universitas Terbuka, mengambil jurusan pendidikan guru Taman Kanak-kanak. Waktu luangnya diisi sebagai guru honorer.
Ia sadar, pendidikan adalah cara mengubah nasib. Ia tak ingin anak-anaknya diwarisi kebodohan dan kemiskinan hanya karena tak berpendidikan. Ia bertekad menyekolahkan anak-anaknya mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.
“Anak saya sudah tiga. Pertama sudah sarjana pendidikan, kedua semester lima pelayaran. Ketiga tamat SMK jurusan otomotif. Sekolahnya di Saumlaki,” tutur Nety.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News