"Membuat game itu profesi paling menyenangkan di dunia. Tujuannya (mengembangkan gim) untuk membuat orang bersenang-senang. Dalam prosesnya memang susah membuat game yang seru, tapi, menyenangkan, kita memikirkan apa yang membuat orang lain senang," kata Shieny dikutip dari Antara, Selasa, 21 April 2020.
Shieny, yang kini berusia 32 tahun, sudah jatuh hati pada dunia gim digital sejak kecil. Cita-citanya, ingin membuat gim sendiri jika sudah dewasa.
Ketika mengenyam pendidikan di Teknik Informatika, Institut Teknologi Bandung (ITB), dia bertemu dengan teman-teman yang memiliki hobi yang sama. Hobi bermain gim pun disalurkan lewat cara yang produktif, mereka mengikuti berbagai kompetisi gim.
Menjelang lulus kuliah, cita-cita Shieny masih belum berubah, dia masih tertarik untuk membuat gim sendiri. "Masih mau bikin game sendiri," kata Shieny.
Baca juga: Cerita PNS Dua Kali Lolos LPDP, Ternyata Ini Kuncinya
Usai kuliah, dia mendirikan PT Agate International, studio dan pengembang lokal berbasis di Bandung, yang cukup produktif mengembangkan gim lokal. Antara lain "Game Dilan" dari novel berseri "Dilan" karya Pidi Baiq dan "Valthirian Arc: Hero School Story" yang dipasarkan ke mancanegara.
Shieny masih jelas mengingat gim pertama buatannya, bersama teman-temannya, berjudul "PonPoron" yang dimainkan lewat konsol XBox. Game itu turut dipamerikan dalam pameran yang diadakan pada 2008 silam di Indonesia.
Di sana, untuk pertama kalinya Shieny merasakan apresiasi dan keseruan orang lain memainkan gim buatannya.
Setelah gim tersebut, dia dan teman-temannya mantap mendirikan Agate International, bersama perusahaan tersebut, mereka mengembangkan gim pertama bernama "English Defender".
Tapi, yang paling berkesan bagi Shieny bukan hanya gim yang pertama kali diciptakan, melainkan gim bernama "Up In Flames", yang mereka luncurkan bersama Chilingo, penerbit gim "Angry Birds".
Shieny saat itu menjadi satu-satunya perempuan dalam tim pengembangan "Up In Flames" yang berjumlah lima orang.
Perempuan di industri gim
Shieny tidak menampik ada gagasan yang begitu populer di masyarakat, bahwa gim adalah untuk laki-laki. Pandangan itu juga berlaku di dunia pengembangan gim, bahwa gim untuk laki-laki maka yang membuatnya juga laki-laki.
Padahal, anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, meski pun memang komposisi laki-laki yang terlibat pengembangan gim masih lebih banyak dibandingkan perempuan.
Shieny beruntung, ketika dia memutuskan untuk menggeluti pengembangan gim, orang-orang di sekitarnya tidak pernah memandangnya sebelah mata. Dia malah mendapatkan masukan-masukan yang positif, mengingat industri gim di Indonesia pun belum terlalu jamak.
Dia pun ingin mengubah pandangan-pandangan bahwa bermain gim tidak produktif, hanya membuang-buang waktu.
"Justru, kita bisa bikin aktivitas bermain game makin berfaedah. Bagaimana cara supaya industri game bukan hanya seru-seruan, tapi, bisa memberi faedah untuk orang lain," kata Shieny, yang kini menjabat sebagai Chief Operating Officer di Agate.
Sementara, jika dilihat rilisan gim secara umum, gim yang tersedia untuk laki-laki dan perempuan cukup berimbang.
"Jenis game sekarang beragam dan perempuan pun banyak yang bermain game," kata dia.
Kesempatan untuk para perempuan bergabung dalam dunia pengembangan gim menurut Shieny sangat besar karena industri pun butuh mengembangkan gim-gim yang menargetkan pasar perempuan.
"Supaya aspirasinya juga tersampaikan. Potensinya sangat ada," kata Shieny.
Baca juga: Cerita Dosen Unpad Selama Lockdown di Würzburg Jerman
Ketika orang-orang harus berada di dalam rumah dalam masa physical distancing, menjaga jarak, untuk mengurangi penyebaran virus corona, gim malah menjadi primadona untuk mengisi waktu agar tidak merasa bosan.
Perubahan kebiasaan tersebut juga dirasakan Agate International, secara umum, mereka mengalami kenaikan traffic hingga dua kali lipat selama periode work from home, bekerja dari rumah, sejak Maret lalu.
Agate beberapa waktu lalu meluncurkan kampanye "fun from home", berupa insentif bagi konsumen mereka, seperti "items" atau "gems" gratis agar lebih banyak orang yang bisa menikmati konten.
Meski pun sedang cukup berjaya saat ini, bagi Shieny, industri gim lokal masih memiliki banyak pekerjaan rumah, terutama yang berkaitan dengan pendanaan dan sumber daya manusia.
Kedua hal tersebut dinilainya masih menjadi isu besar bagi industri gim lokal. Pendanaan untuk para pembuat gim, seperti dikatakan Shieny, masih cukup kecil dibandingkan dengan industri lain, misalnya produksi film, meski pun pangsa pasar gim di Indonesia cukup berpotensi untuk terus tumbuh.
Sementara dari segi talenta atau sumber daya manusia, Shieny mengakui belum banyak yang memiliki kemampuan yang bisa mengembangkan gim yang kompetitif di pasar global. Berbicara pasar gim, menurut Shieny bukan cuma untuk dipasarkan di Indonesia, melainkan tingkat dunia.
Pasalnya, orang Indonesia pun turut menikmati bermain gim buatan asing.
Urusan pendanaan dan talenta bagi Shieny saling berkaitan, pendanaan sedikit karena sumber daya manusianya terbatas. Sebaliknya, karena talenta yang ada tidak banyak, maka pendanaan yang digelontorkan pun sedikit.
Masih banyak mimpi-mimpi Shieny untuk industri gim di Indonesia. Suatu saat nanti, dia ingin Indonesia bisa populer karena produktif mengeluarkan gim dalam skala global, seperti Nintendo yang membuat Jepang kesohor sebagai produsen gim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News