Rastini, guru SLB A Beringin Bhakti, Cirebon yang juga penyandang tunanetra. Foto:  Dok. Kemenag
Rastini, guru SLB A Beringin Bhakti, Cirebon yang juga penyandang tunanetra. Foto: Dok. Kemenag

Rastini, Guru Tunanetra yang Jadi Lentera Bagi Siswa ABK

Citra Larasati • 17 Juni 2021 10:16
Jakarta:  Pagi itu, 10 Juni 2021, Rastini sudah duduk di depan laptop dengan layar proyektor yang sudah terkembang.  Ia akan menyampaikan presentasi di sebuah ruang aula hotel bintang empat di kota Bandung.
 
Rastini adalah guru SLB A Beringin Bhakti, kabupaten Cirebon yang juga penyandang tunanetra. Ia didapuk Direktorat Pendidilan Agama Islam, Kementerian Agama (Kemenag) untuk menjadi narasumber, berbagi ilmu dan pengalaman di depan 25 guru agama sekolah luar biasa se-Jawa Barat yang 75 persennya juga penyandang tunanetra. 
 
Rastini meski berperawakan kecil, tapi bernyali besar untuk berbagi ilmu dan pengalaman. Sesi pagi itu, ia akan menyampaikan hasil penelitiannya terkait metode menghafal juz 'amma (juz 30 pada Al-Qur'an) yang ia terapkan kepada peserta didiknya, kelas 5 SD penyandang disabilitas majemuk.

Disabilitas majemuk adalah suatu kondisi pada seseorang dengan lebih dari satu keterbatasan, misalnya bukan hanya tunanetra tapi kemampuan intelegensianya juga di bawah rata-rata. 
 
Mengenakan jilbab abu-abu, Rastini dengan semangat menggebu menyampaikan pengalaman berkesannya mendidik anak-anak difabel majemuk dengan cara mengulang-ngulang mengikuti lafaz yang diucapkan.  Ditambah dengan sentuhan, baik sentuhan fisik kepada siswanya maupun sentuhan kasih sayang.
 
Baca juga:  Kisah Bang Dzoel, Fotografer Difabel yang Sukses Keliling Dunia
 
Metode sentuhan itu ia maksudkan ketika guru mengajari siswanya khusus untuk tunanetra dan pemilik tuna ganda.  Ia bisa menyentuh tangan si anak, agar siswa tersebut tenang dan merasa nyaman karena merasa diperhatikan.
 
"Kemudian sang guru  membacakan ayat yang akan dihafal, diulang sampai tiga kali, karena kalau lebih biasanya anak tersebut tidak betah. Jika sekiranya si anak sudah mampu menghafalkan bisa ditanyakan apakah aktivitas mau dilanjutkan atau istirahat," papar Rastini.
 
Dikutip dari laman Kemenag, metode sentuhan tangan ini khusus untuk anak penyandang tunanetra dan permasalahan intelektual. Sedangkan untuk penyandang keterbatasan intelektual dan sosial yang bisa melihat, bisa dilakukan dengan eye contact langsung.
 
 

 
Untuk tunanetra murni, kegiatan menghafal bisa dibimbing dengan percakapan langsung bersama gurunya,” sambungnya.
 
Wanita kelahiran Cirebon, 22 April 1980 ini mengawali karier sebagai guru setelah lulus kuliah pada tahun 2005, sebagai tenaga honorer di Semarang. Cita-cita awal Rastini sebenarnya hanya ingin berbagi ilmu kepada anak-anak yang tidak mampu mengenyam bangku sekolah.
 
Akan tetapi, tenyata kesempatan untuk menjadi guru PNS malah terbuka di depannya. “Tahun 2007 sampai 2009, saya menjadi guru kelas dan guru PAI di SLB. Namun saya memang kuliah mengambil jurusan PAI sehingga saya sampai sekarang pun menjadi guru PAI. Pada tahun 2009, saya mulai diangkat menjadi guru PNS di SLB tersebut," tuturnya.
 
Rastini mengatakan, menjadi guru anak-anak tunanetra yang juga penyandang disabilitas majemuk ini justru memberinya ilmu. Itulah yang membuatnya terkesan karena menyulutkan inovasi-inovasi dalam pembelajaran di sekolah.
 
Awalnya ia merasa tidak mampu atau kewalahan menghadapi mereka karena cara yang saya terapkan tidak menampakkan hasil. "Namun saya mencoba tidak putus harapan" terangnya.
 
Ia pun mulai membaca buku, berselancar di internet dan diskusi dengan beberapa rekan bagaimana cara mengatasi hambatan dalam mengajar mereka. "Saya coba dengan beberapa metode. Setiap ada perkembangan baru pada siswa, saya catat demikian terus menerus hingga mereka akhirnya bisa menghafal Al-Qur'an, ada yang sudah bisa Surat Al Kaafirun hingga Al 'Adiyaat,” ujar Rastini.
 
Rastini memang salah satu guru SLB penyandang tunanetra yang berprestasi dan sangat menunjukkan dedikasinya sebagai guru profesional. Pada tahun 2007 hingga 2009, ia juga sempat ditetapkan sebagai kepala sekolah oleh yayasan di Semarang yang awalnya bernama MILB, atau Madrasah Ibtidaiyah Luar Biasa.
 
 

 
Selama menjabat menjadi kepala sekolah ia berhasil mengupayakan izin operasional MILB dari kantor Kementerian Agama di Semarang, juga mengusahakan bantuan insentif untuk para guru honorer di SLB tersebut karena hanya dia kebetulan yang memiliki ijazah sarjana.
 
Prestasi yang sangat berharga lainnya bagi sekolah tentunya adalah bagaimana Rastini menerapkan metode membaca dan menulis Al-Qur'an (TBTQ) dengan metode braille untuk siswanya yang tunanetra sekaligus penyandang multidisabilitas.
 
Kemampuan siswa dalam menghafal pun bagus, meski agak lemah syaraf sensoriknya untuk mengenal huruf, demikian pula dengan kemampuan akademik yang di bawah rata-rata.  Mereka mulai belajar sejak kelas 4. 
 
Baru pada kelas 7 mereka akhirnya bisa membaca dan menulis sekaligus membaca dan menulis Al-Qur'an dengan metode braille. Untuk praktik menulis, dajarkan menggunakan alat yang dinamakan riglet dan stilus.
 
"Riglet itu semacam landasan, sedangkan stilus alat untuk menusuknya atau penanya. Namun bagi pemula yang ingin mempelajari TBTQ braille syaratnya harus bisa dulu huruf latin yang biasanya dipelajari dengan braille text,” terangnya.
 
Untuk saat ini, sekolah tempat Rastini mengajar tengah bekerja sama dengan sebuah Yayasan Rumah Tahfiz di Cirebon. Di rumah tahfiz ini, ada beberapa siswa yang sudah sanggup menghafal dua juz, yakni juz 30 dan uz 29.
 
Menurutnya, meski program tersebut sudah dilaksanakan, tapi tidak menjadi target utama pembelajaran di sekolah. Bagi Rastini yang penting anak-anak bisa menerima cara gurunya mengajar dengan baik.
 
Dalam mengajar, Rastini juga berusaha menempatkan diri di kelas sebagai teman untuk para siswanya.  Hal ini dimaksudkan agar ia bisa mendengar keluh kesah mereka.
 
 

 
Pada saat itulah ia akan masuk merengkuh hati para peserta didiknya dengan menyelipkan nasihat-nasihat yang baik. Rastini juga berusaha menerapkan prinsip keteladanan dalam berinteraksi. Misalnya mengajak salat wajib dan salat sunah  seperti Duha bersama.
 
Menurut Rastini, pada dasarnya guru harus menguasai medan kelasnya dengan baik. Ini yang ia jadikan prinsip, meskipun Rastini juga dalam keterbatasan.
 
"Berusaha mendekati mereka walaupun kadang harus dengan berjalan tertatih menyenggol sana sini di ruangan tersebut. Namun justru dengan demikian, mereka akan melihat bahwa meskipun guru mereka tidak bisa melihat tapi tetap memiliki kepercayaan diri,” ungkapnya. 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan