Adinda juga menerima beasiswa UKT Pendidikan Unggul Bersubsidi 100 persen atau UKT 0. Ini membebaskannya dari kewajiban membayar uang kuliah.
“Waktu lihat nama saya lolos SNBP, rasanya kayak mimpi. Tapi ternyata belum selesai, beberapa hari kemudian, saya cek dan ternyata saya juga dapat beasiswa. Senang tentunya karena bisa meringankan beban Ibu,” ujar Adinda dikutip dari laman ugm.ac.id, Jumat, 13 Juni 2025.
Di balik senyum bahagia tersebut, ada perjalanan panjang yang tidak selalu mulus. Sejak usia 2,5 tahun, Adinda dibesarkan oleh ibunya seorang diri.
Ayahnya wafat saat ia masih terlalu kecil untuk mengingat wajahnya. Ibunya, Eny Setyawati, 57, seorang guru di Taman Asuh Anak Al Fatihah di lingkungan rumah mereka, menjalani hari-hari sebagai single parent.
Meski penghasilan terbatas dan waktu istirahat minim, sang ibu tidak pernah absen memastikan anak-anaknya berangkat sekolah dengan semangat penuh. Dalam keseharian, Eny selalu menanamkan pada Adinda pentingnya memilih jalan hidup yang memberi manfaat luas.
“Saya tanamkan ke anak-anak, kalau bisa kerjalah di bidang yang bermanfaat entah pendidikan atau kesehatan. Karena itu ladang amal untuk bekal hidup panjang bukan hanya di dunia. Saya bersyukur sekali UGM memberi kesempatan seluas ini bagi anak saya,” ujar Eny.
Pesan sang ibu selalu diingat oleh Adinda. Bahkan, pekerjaan yang dilakoni sekarang sebagai pengasuh menginspirasi Adinda menekuni bidang kesehatan.
“Saya ingin membantu orang, terutama dalam situasi darurat,” ujar Adinda.
Hal itu tercermin sejak SMA, dia aktif di kegiatan OSIS dan Palang Merah Remaja (PMR). Ia kerap mengikuti pelatihan pertolongan pertama, simulasi evakuasi bencana, dan kegiatan sosial lainnya yang membuatnya sadar dunia kesehatan adalah panggilan hidupnya.
Aktivitas di organisasi sempat membuat nilainya turun di tengah semester. Namun, Adinda tidak menyerah. Ia belajar mengatur waktu lebih baik, menyeimbangkan kegiatan organisasi dengan tanggung jawab akademik.
Baca juga: Berprestasi Sejak SD, Shareent Kuliah Gratis di UGM |
Ia mulai membatasi kegiatan di luar jam pelajaran dan memperkuat kebiasaan belajar malam hari. Dukungan dari guru dan teman-temannya juga menjadi suntikan penambah semangat.
“Saya sadar saya harus kejar ketertinggalan. Semester akhir saya push diri sendiri supaya masuk peringkat eligible. Akhirnya bisa masuk UGM sesuai harapan saya dan keluarga,” ujar dia.
UGM bukan sekadar kampus ternama. Ini adalah simbol dari cita-cita yang tampak terlalu jauh untuk disentuh sampai akhirnya menjadi nyata.
Adinda adalah anak pertama dalam keluarganya yang berhasil menembus UGM. Kakaknya kini kuliah di Teknik Mesin Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan mereka berdua sama-sama dibiayai oleh sang ibu dari penghasilan yang sangat terbatas.
Adinda mengakui selama proses seleksi, ibunya adalah sosok paling sering menyemangati dan mendoakan, bahkan saat ia sendiri sempat ragu. Ia ingat betul ibunya selalu menyisipkan doa di sela-sela makan pagi atau menjelang tidur.
“Masuk UGM itu juga salah satu cita-cita Ibu. Jadi saya merasa ini bukan cuma kemenangan saya, tapi juga hadiah kecil untuk beliau,” ujar dia.
Saat mulai perkuliahan, Adinda ingin memperdalam pemahaman tentang praktik keperawatan, penanganan pasien, dan pertolongan pertama. Tidak hanya di kelas, ia juga ingin aktif di luar ruang akademik.
Adinda berharap bisa bergabung di organisasi kemahasiswaan dan kegiatan volunteering, khususnya menjadi relawan di daerah bencana. Ia juga berharap bisa mengikuti riset-riset lapangan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat.
“Saya ingin bantu langsung masyarakat yang benar-benar membutuhkan tenaga medis. Itu salah satu alasan saya masuk keperawatan, bukan cuma karena saya suka, tapi karena saya merasa ini jalan saya untuk berkontribusi,” tutur dia.
Adinda sadar perjuangan belum berakhir. Dia siap tumbuh dalam lingkungan inklusif yang menghargai keberagaman latar belakang dan potensi.
Ia merasa diterima sepenuh hati, bukan karena latar belakang tetapi karena semangat dan kemampuannya. Ia juga merasa UGM akan menjadi rumah baru yang mendorongnya berkembang, baik secara akademik maupun sosial.
Dukungan dari kampus dalam bentuk beasiswa ini bukan hanya meringankan secara ekonomi, tetapi juga menjadi penyulut semangat untuk berbuat lebih. “Saya percaya semua orang punya kesempatan yang sama asal mau kerja keras. UGM membuktikan bahwa kampus kerakyatan itu nyata. Saya bersyukur banget jadi bagian dari kampus ini,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News