Jakarta:
Mahkamah Kontitusi (MK) menjadi sorotan publik usai memutus gugatan uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait syarat batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres). Dalam putusannya, Mahkamah mengabulkan sebagian gugatan terkait syarat batas usia
capres-cawapres minimal 40 tahun atau sedang menjabat kepala daerah.
Putusan yang dibacakan pada Senin, 16 Oktober 2023, itu bukan hanya membuat bingung publik, tetapi juga hakim Kontitusi yang bersidang. Pasalnya, dari tujuh gugatan uji materi soal batas usia capres-cawapres, ada satu yang dikabulkan hakim Konstitusi.
Putusan itu pun semakin melanggengkan jalan bagi putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, untuk menjadi calon wakil presiden karena statusnya sebagai kepala daerah meskipun belum berusia 40 tahun. Gibran digadang-gadang bakal digandeng bakal calon presiden Prabowo Subianto di
Pilpres 2024.
Namun, dari total sembilan, ada empat hakim yang punya pendapat berbeda atau
dissenting opinion. Sisanya menyetujui permohonan itu.
Berikut empat hakim Konstitusi yang memiliki dissenting opinion:
1. Saldi Isra
Saldi Isra adalah seorang ahli hukum, profesor hukum, dan hakim Indonesia. Dia menjabat sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi sejak 11 April 2017 yang ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Sebelum menjadi hakim Konstitusi, dia adalah seorang profesor hukum tata negara di Universitas Andalas. Sepanjang karier akademisnya, pria yang lahir pada 20 Agustus 1968 itu menerima penghargaan sehubungan dengan upayanya melawan korupsi di Indonesia.
2. Wahiduddin Adams
Wahiduddin Adams pernah menjadi seorang birokrat di Kementerian Hukum dan HAM, menjabat sebagai Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan dari 2010 hingga 2014.
Pria kelahiran 17 Januari 1954, itu mengenyam pendidikan di jurusan Ilmu Peradilan Islam, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri Jakarta. Di kampus yang sama, dia meraih gelar Magister Hukum Islam (1991) dan Doktor Hukum Islam (2002).
Wahiduddin mulai menjabat sebagai hakim Konstitusi sejak 2014. Sudah dua periode, dia menjadi hakim Konstitusi.
3. Arief Hidayat
Arief Hidayat mengawali kariernya sejak lulus dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah. Dia terpilih sebagai hakim konstitusi menggantikan Mahfud MD pada 4 Maret 2013, melalui pemilihan di Komisi III DPR.
Arief juga pernah menjabat sebagai Ketua MK pada 14 Januari 2015. Selama menjabat Ketua MK, Arief terpilih menjadi Presiden Asosiasi MK Se-Asia (AACC) selama dua periode.
Dalam catatan karier Arief di MK, dia merupakan salah satu hakim dengan pengalaman yang lengkap karena pernah duduk dalam jabatan sebagai Hakim MK, Wakil Ketua MK, hingga menjadi ketua MK.
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) itu tercatat pula sebagai satu-satunya Ketua MK yang dipilih secara aklamasi dalam Rapat Permusyawaratan Hakim Pemilihan Ketua MK baik dalam periode pertama maupun kedua).
4. Suhartoyo
Suhartoyo meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Islam Indonesia pada 1983. Ia meneruskan pendidikan pascasarjana Magister Ilmu Hukum di Universitas Tarumanegara, lulus pada 2003, dan Doktor Ilmu Hukum di Universitas Jayabaya, lulus pada 2014.
Dia pernah berkarier sebagai seorang calon hakim di Pengadilan Negeri Bandar Lampung pada 1986. Dia juga sempat menjadi Ketua PN Jakarta Selatan sebelum berkarier di MK.
Dia menjadi hakim Konstitusi sejak 2015 hingga saat ini. Dia menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi pada 17 Januari 2015.
Berikut lima hakim yang menyetujui permohonan uji materiil batas usia capres-cawapres:
1. Anwar Usman
Anwar Usman merupakan Ketua Mahkamah Konstitusi ke-6. Sebelum menjadi hakim Konstitusi, dia memulai karier sebagai seorang guru honorer pada 1975.
Sukses meraih gelar Sarjana Hukum pada 1984, pria kelahiran 31 Desember 1956 itu mencoba ikut tes menjadi calon hakim. Dia lulus dan diangkat menjadi Calon Hakim Pengadilan Negeri Bogor pada 1985.
Di Mahkamah Agung (MA), jabatan yang pernah didudukinya, di antaranya menjadi Asisten Hakim Agung mulai dari 1997–2003 yang kemudian berlanjut dengan pengangkatannya menjadi Kepala Biro Kepegawaian Mahkamah Agung selama 2003–2006. Pada 2005, paman dari Gibran Rakabuming Raka itu diangkat menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dengan tetap dipekerjakan sebagai Kepala Biro Kepegawaian.
2. Manahan Malontige Pardamean Sitompul
Manahan Malontige Pardamean Sitompul menjabat sebagai Hakim Konstitusi sejak 28 April 2015. Sebelum berkarier sebagai hakim konstitusi, Manahan merupakan seorang hakim karier di lingkungan Peradilan Umum, dengan penugasan terakhir di Pengadilan Tinggi Bangka Belitung.
3. Enny Nurbaningsih
Enny merupakan satu-satunya hakim konstitusi wanita. Wanita kelahiran Pangkal Pinang, 27 Juni 1962, itu sempat menjadi Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dan akademisi yang mengajar di Universitas Gadjah Mada.
Dia mendaftar calon hakim konstitusi setelah mendapat dukungan dari rekan-rekannya. Dia terpilih menjadi hakim Konstitusi sejak 13 Agustus 2018.
4. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh
Daniel Yusmic Pancastaki Foekh menjabat sebagai hakim Konstitusi mulai 7 Januari 2020. Sebelum berkarier sebagai hakim konstitusi, pria kelahiran 15 Desember 1964 itu merupakan seorang akademisi yang mengajar di Universitas Atma Jaya Jakarta.
5. M. Guntur Hamzah
Guntur Hamzah adalah akademisi yang menjabat sebagai Guru Besar di bidang Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Ia pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dari 18 Mei 2015 sampai 2022.
Pada 23 November 2022, pria kelahiran lahir 8 Januari 1965 itu dilantik menjadi hakim Mahkamah Konstitusi menggantikan Aswanto untuk periode 2023–2028.
Dissenting Opinion Saldi Isra: Saya Bingung
Saldi Isra menjelaskan perbedaan pendapatnya terkait putusan mengabulkan sebagian gugatan batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) 40 tahun. Saldi Isra sempat bingung dengan putusan perkara permohonan uji materil soal batas usia capres-cawapres tersebut.
"Bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini," ujar Saldi di Gedung MK, Jakarta, Senin, 16 Oktober 2023.
Dia mengaku baru pertama kali mengalami pengalaman aneh ini sejak menjadi hakim Konstitusi. "Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," tegas Saldi.
Perubahan pendirian itu terlihat pada putusan 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan gugatan yang nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan seorang mahasiswa Almas Tsaqibbirru. Dalam putusan tersebut, para hakim konstitusi memutuskan pengubahan ketentuan Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu merupakan kewenangan DPR dan pemerintah sebagai pembuat aturan.
"Padahal, sadar atau tidak, putusan tersebut menutup peluang atau tindakan lain selain pembentuk UU," ungkap dia.
Dia menjelaskan perubahan sikap MK dalam sebuah putusan, yaitu mempertimbangkan fakta-fakta yang terjadi di tengah masyarakat. Dia kemudian mempertanyakan fakta apa yang membuat para hakim konstitusi mengubah putusannya dalam hitungan jam.
"Pertanyaan fakta penting apa yang terjadi di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari putusan MK 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak, sehingga berubah menjadi mengabukan dalam putusan a quo," ujar dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((AZF))