Jakarta:
Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 disebut sebagai pesta
demokrasi paling buruk di Indonesia. Ada sederet temuan yang mendukung kemuduran pesta demokrasi tahun ini.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) Azka Abdi Amrurobbi membeberkan temuan pertama adanya masalah pada proses seleksi penyelenggara pemilu di tingkat nasional maupun daerah. Menurut dia, pemilihan penyelenggara pemilu tidak mementingkan kapasitas, tetapi faktor lain seperti pengorganisasian.
"Itu kami temukan dalam proses seleksi
penyelenggara pemilu," kata Azka dalam webinar bertema Evaluasi Pemilu Serentak 2024: Jujur dan Adil?, Sabtu, 9 Maret 2024.
Temuan kedua ialah politik uang. Pihaknya menemukan politik uang di empat provinsi, sepert Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Tengah (Jateng), dan Sumatra Selatan (Sumsel)
"Kami menemukan politik uang ini bisa jadi menjadi praktik yang normal seperti sering kita temukan dalam proses pemilu, bahkan kami melihat di beberapa tempat itu ada campur tangan kepala desa atau aparat desa untuk membagikan politik uang itu sendiri menjelang hari H," ujar mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik Universitas Gajah Mada (UGM) itu..
Temuan ketiga ialah kerumitan pemilih dalam sistem yang diterapkan, yaitu sistem profesional terbuka. Menurut dia, sistem itu justru menciptakan kebingungan bagi masyarakat memilih calon anggota legislatif (caleg).
"Malah kami menganalogikannya bagi sindrom rumah makan, seperti kita makan di rumah makan kita diperlihatkan banyak menu, dan kita bingung pada akhirnya ada banyak alasan untuk memilih baik, itu alasan yang positif dan negatif," ungkap Azka.
Dia memandang perlu adanya kajian bersama soal mode sistem pemilu di Indonesia. Apakah akan dipertahankan atau perlu ada evaluasi demi kemajuan pemilu di Tanah Air.
Keempat, masalah terkait keserentakan pemilihan. Azka meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengevaluasi proses pemilu serentak. Keserentakan pemilu saat ini harus menjadi pembelajaran.
"Karena kami melihat dri hasil survei yang kami lakukan di empat provinsi mayoritas dari responden mendukung adanya perubahan dari keserentakan pemilu itu sendiri," ucap dia.
Kelima, banyaknya pemberitaan bohong atau isu hoaks berkeliaran di masyarakat yang bukan hanya saat kampanye, tapi juga menjelang pemilihan. Azka mengatakan banyak masyarakat mendapatkan informasi dengan KTP elektronik mereka bisa memilih di manapun. Bahkan ada informasi bisa mendapatkan seluruh surat suara.
"Hal itu mengakibatkan kebingungan dan penyelenggara pemilu di tingkat TPS itu mengalami kelabakan, bahkan di beberapa tempat mengalami pemungutan suara ulang. Salah satunya di DIY karena banyak mahasiswa yang menganggap mereka punya hak untuk memilih dengan hanya membawa e-KTP akhirnya PSU tidak bisa dihindarkan," beber dia.
Keenam, permasalahan Sirekap. Dia menemukan petugas KPPS mengalami kebingungan untuk mengoperasikan Sirekap. Permasalahannya bukan hanya karena alat, tapi petugas sudah terlalu lelah.
"Karena Sirekap sering tidak bisa diakses, bahkan beberapa KPPS kami wawancarai mereka menganggap sudahlah setelah pemilihan sudah bukan tanggung jawab mereka lagi untuk meng-
upload form ke sistem Sirekap yang pada akhirnya seperti yang kita ketahui di website itu ada daerah yang form C-1 atau form C-hasil di beberapa tempat tidak ada," tutur Azka.
Temuan ketujuh yang tak kalah pelik adalah dugaan kecurangan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. KISP menemukan indikasi ada satu desa yang 99,8 persen pemilihnya hanya mencoblos satu caleg tertentu.
Fakta ini diharapkan menjadi masukan bagi Bawaslu menginvestigasi untuk memastikan benar ada kecurangan pemilu atau tidak. Namun, tegas Azka, KISP mengindikasikan ada kucurangan karena ada laporan dari relawan KISP di lokasi tersebut.
"Bahkan ada informasi beberapa TPS itu sudah tutup pukul 11.00 WIB, yang ini merupakan hal yang kami rasa mustahil kalau TPS tutup jam 11.00," ujar dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((AZF))