Samarinda: Dibalik karir politik dan keagamaan calon wakil presiden nomor urut 01 Ma'ruf Amin, ternyata ada persimpangan yang harus ditempuh. Saat berumur 22 tahun, ia pernah mendapat tawaran menjadi anggota kepolisian.

"Itu sekitar tahun 65 itu. Dan saya dipanggil untuk jadi polisi," katanya saat berbincang santai dengan media di sela safari di Samarinda, Kalimantan Timur, Jumat, 22 Maret 2019.

Baca juga: Ma'ruf Curhat 'Dikeroyok' Ulama dan Santri

Ma'ruf menolak tawaran itu. Alasannya sederhana lantara mengikuti apa kata neneknya. Sejak umur empat tahun Ibu Ma'ruf telah meninggal dunia. Neneknya yang menggantikan peran Ibu untuk mengasuh dia.

"Nenek saya bilang kamu jangan jadi polisi, jadi kiai aja. Jadi saya jalurnya jalur kiai, ulama," ucap Ma'ruf.

Ketum MUI itu mengungkapkan bahwa keluarganya merupakan 'pencetak' ulama. Kakeknya seorang kiai, dan ayahnya juga menjadi pemuka agama. Selain dari nenek, dorongan untuk mendalami ilmu Islam juga didapat dari ayah Ma'ruf.

Baca juga: Ma'ruf Buka-bukaan Soal Strategi Kampanye Terbuka

Sang Ayah menginginkan anaknya belajar di pesantren tradisional, di Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. "Jadi yang boleh itu di Tebu Ireng, makanya saya mondoknya di Tebu Ireng," beber Ma'ruf.

Bahkan dalam karir di dunia politik, Ma'ruf memulai dari partai Islam Nahdlatul Ulama (NU). Pada 1971, ia menduduki kursi legislatif di DPRD DKI, saat masih dipimpin Gubernur Ali Sadikin. Tak main-main, di usia 28 tahun Ma'ruf menjadi anggota termuda yang memimpin fraksi partai politik.

"Lalu sesudah 73 itu difusi, partai-partai Islam, lalu saya jadi ketua fraksi PPP. Setelah fusi itu," tandas Ma'ruf.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id

((BOW))