Jakarta: Penyelenggara
Pemilu 2024 diminta memelototi proses pemungutan suara. Hal itu perlu dilakukan untuk meminimalkan berbagai potensi kecurangan.
Koordinator Nasional JPPR Nurlia Dian Paramita membeberkan berbagai potensi kecurangan menjelang tahap pemungutan suara. Potensi kecurangan terjadi dari tahap pencoblosan hingga rekapitulasi suara.
"Contohnya dalam proses pemungutan karena adanya keputusan KPU Nomor 66 yang mengatur terkait dengan DPK (daftar pemilih yang memiliki identitas kependudukan," kata Mita kepada
Media Indonesia, Minggu, 11 Februari 2024.
Dalam Keputusan KPU Nomor 66 Tahun 2024 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum terkait daftar pemilih yang memiliki identitas kependudukan, pemilih yang memiliki kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) dapat memilih di domisili baru meski tidak masuk ke dalam daftar pemilih tetap (DPT). Menurut dia, aturan ini sangat berpotensi pemilih memberikan hak pilihnya lebih dari satu kali di dua TPS.
“Gambarannya, si pemilih di pagi hari dari jam 7-12 memilih di TPS awal dimana si pemilih menjadi DPT. Kemudain siangnya memilih di TPS tempat pemilih sudah pindah domisili dengan menggunakan hak pilihnya sebagai DPK. Ini kan sangat besar potensinya dengan ketentuan
KPU tersebut,” ungkap dia.
Kemudian bahaya kecurangan juga bisa terjadi dalam proses penghitungan. Mita mencontohkan ketentuan KPU yang mengatur salinan hasil penghitungan digandakan dalam bentuk copian atau dokumen elektronik. Ketentuan tersebut termaktub dalam Pasal 60 PKPU 25 Tahun 2023.
Dia menilai salinan yang diberikan kepada saksi dan pengawas
TPS akan menimbulkan celah potensi kecurangan. Sebab, adanya standar ganda terhadap dokumen hasil penghitungan.
Apalagi, kata Mita, adanya data yang diunggah ke dalam SIREKAP. Dengan tidak adanya penyederhanaan dokumen hasil tersebut potensi membuat kecurangan terhadap hasil penghitungan dapat dilakukan jika penyelenggara pemilunya tidak netral.
Ketidaknetralan itu mungkin terjadi dengan mengotak atik hasil penghitungan dalam C Hasil Pengitungan. “Seperti menulis angka perolehan suara dari 1 menjadi 10 dan seterusnya,” ungkap dia.
Kemudian dalam proses rekapitulasi. Mita menilai ada kelemahan pengawasan, khususnya dalam proses pengawasan pergerakan kotak suara dari panitia pemungutan suara (PPS) ke petugas panitia pemilihan kecamatan (PPK). Sebab, jumlah panitia pengawas pemilu (panwaslu) yang bertugas hanya satu orang.
“Jangan sampai kotak suara ada yang mampir ngopi dulu. Ini adalah salah satu kerawanan dalam proses rekapitulasi sampai tingkat kecamatan. Sisanya dari kecamatan ke kota, itu hanya angka-angka saja yang bergerak,” ujar Mita.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((ABK))