Jakarta: Mayoritas partai politik dinilai tidak memiliki konsistensi dan komitmen yang kokoh terhadap masalah gender dan kekerasan terhadap perempuan.
Kebanyakan parpol dinilai hanya berhenti pada dokumen-dokumen resmi baik tertulis di visi-misi, anggaran dasar dan rumah tangga, hingga pidato-pidato para petingginya.
Direktur Media dan Riset Indomedia Poll Hamzah Fansuri mengatakan, berdasarkan penelitian yang telah dilakukannya, publik masih memandang ketidakseriusan parpol dalam memperjuangkan penyelesaian masalah gender dan kekerasan terhadap perempuan.
“PKS (Partai Keadilan Sejahtea) misalnya menolak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Ini mendapat respons negatif dari publik mengingat banyak peristiwa kekerasan terhadap perempuan justru lolos dari proses hukum yang adil,” kata Hamzah, Kamis 15 Maret 2019.
Menurut Hamzah, RUU PKS menjadi salah satu acuan komitmen parpol terhadap gentingnya persoalan gender (kekerasan seksual) di Indonesia, selain masalah jumlah keterwakilan perempuan di parlemen dan caleg.
“Partai-partai berbasis Islam lainnya seperti PPP, PKB, PAN cenderung kurang tegas terkait RUU PKS. Padahal semangat RUU ini sangat islami. Di sisi lain, banyak kasus kekerasan seksual hanya disikapi dengan kutukan yang ditangkap oleh publik tidak bermakna apapun,” ujarnya.
Bertolak belakang dengan PKS, partai anak muda PSI berhasil meraih pandangan positif dari publik dalam hal komitmen mereka untuk segera mengesahkan RUU PKS tersebut.
“Di sisi lain PSI juga menunjukkan komitmen dan konsistensinya pada persoalan gender dengan mayoritas kepempimpinan perempuan dan caleg perempuan,” katanya.
Sementara inkonsistensi partai terhadap masalah gender dan kekerasan perempuan ditunjukkan dari perbedaan sikap dan pandangan antar elite di masing-masing partai.
“Sehingga publik menilai partai-partai hanya bermain jargon membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan tanpa merasakan bagaimana parpol berdiri di depan ketika ada peristiwa kekerasan seksual di banyak daerah,” ujar Hamzah.
Menurutnya, sebagai partai baru, PSI justru lebih maju menawarkan kebijakan larangan poligami bagi Pejabat Publik. Termasuk mendukung kenaikan batas usia pernikahan menjadi 18 tahun.
“Dua isu sensitif yang jarang disinggung partai lain itu berhasil mengedukasi publik khususnya generasi muda mengenai mendesaknya permasalahan perempuan,” katanya.
Hasil penelitiannya juga menunjukkan, partai-partai yang duduk di parlemen saat ini meski juga memperjuangkan keterwakilan perempuan lewat pengusungan calegnya belum menjawab kebutuhan nyata persoalan gender maupun kekerasan terhadap perempuan.
“Sedangkan partai-partai baru seperti Garuda, Berkarya dan Perindo pun tidak bersuara lantang terkait masalah ini sehingga publik tidak mendengar bentuk komitmen dan konsistensi partai-partai ini. Demikian pula terhadap partai lama seperti PBB, Hanura, dan PKPI,” katanya.
Hamzah mengungkapkan, semua itu berdasarkan hasil penelitiannya yang dilakukan menggunakan metode analisa wacana kritis (Critical Discourse Analysis/ CDA) yang menekankan bahasa sebagai praktik sosial dan wacana sebagai apa yang ada di balik teks (tuturan/spoken dan tulisan/written).
CDA dalam penelitian ini menerapkan tiga bentuk analisa yang berbeda satu sama lain: analisa teks bahasa (mendeskripsikan bagaimana teks diproduksi, didistribusi dan dikonsumsi selain hubungan satu teks dengan teks lain), analisa praktik wacana (menginterpretasi sosial dan institusional berkembangnya wacana kebangsaan), dan analisa peristiwa diskursif (menjelaskan bagaimana ideologi yang ada di balik setiap wacana dan efek sosial dari wacana).
Penelitian ini menggunakan data yang bersifat teks, yang diambil dari pernyataan-pernyataan resmi partai politik dan elite-elitenya sebagaimana tertuang di berbagai media (website dan akun official media sosial masing-masing partai, pernyataan-pernyataan di media arus utama, wawancara dengan ahli dan komentar publik, dari 2014-2019).
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((FZN))