Jakarta: Pelarangan lembaga survei merilis hasil hitung cepat sebelum tempat pemungutan suara (TPS) ditutup menimbulkan polemik. Aturan yang tertuang di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu dinilai melanggar hak masyarakat dan lembaga survei.
"Kita tidak ingin itu terjadi. Kita ingin hak masyarakat tahu lebih cepat," kata Ketua Dewan Pembina Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) Denny JA, di Jakarta, Jumat, 15 Maret 2019.
Denny menjelaskan ada empat hak yang dilanggar karena aturan itu. Hak tersebut ialah hak masyarakat untuk mengetahui hasil hitung cepat, hak untuk menyampaikan informasi, hak akan kepastian hukum, dan hak akan perlindungan rasa aman.
"Ini tercederai," ucap dia.
Ada tiga pasal yang dipermasalahkan AROPI, yakni Pasal 449 ayat 2 dan ayat 5, Pasal 509, serta Pasal 540 ayat 2.
Pasal 449 ayat (2) berbunyi, "Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan pada Masa Tenang."
Sedangkan, Pasal 449 ayat (5) menyebutkan, "Pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat."
Sementara itu, Pasal 509 dan Pasal 540 ayat (1) mengatur soal sanksi bila melanggar aturan tersebut. Pasal 509 berbunyi, "Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu dalam Masa Tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)."
Pasal 540 ayat (2) berbunyi, "Pelaksana kegiatan penghitungan cepat yang mengumumkan prakiraan hasil penghitungan cepat sebelum 2 (dua) jam setelah selesainya pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 18 juta (delapan belas juta rupiah)."
Dia berharap pasal yang sudah diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi itu bisa dikabulkan. Sebab, MK juga sebelumnya pernah menguji hal yang sama dan mengabulkannya.
"Pasal ini sudah melanggar amar putusan MK (Nomor 24/PUU-XII/2014)," kata dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((MBM))