Jakarta: Sistem
kepolisian saat ini sangat sentralistik karena ada sistem komando yang dipimpin Kapolri. Perlu ada pengawasan yang ketat agar netralitas aparat keamanan tetap terjamin di
Pemilu 2024.
"Meskipun dalam konstitusi Polri tunduk pada hukum tapi Polri menganut sistem komando," kata pengajar Fisipol UI Sidratahta Mukhtar dalam diskusi LP3ES di Jakarta, dilansir pada Rabu, 26 Desember 2023.
Menurut dia, kepolisian menjadi sulit dikontrol karena sistem komando dan sentralistik tersebut. "Karena dipimpin oleh Kapolri yang sangat kuat. Di Indonesia ini unik karena polisi menganut sistem komando," ujar dia.
Dia menilai isu netralitas ini akan sangat rentan terjadi kepada Polri kalau tidak ada pengawasan. "Makin rendah tingkat pengawasan makin tinggi kemungkinan
abuse of power-nya," kata dia.
Bahaya Aparat Tidak Netral
Sementara itu, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini mengingatkan pentingnya aparat keamanan, termasuk TNI/Polri, untuk menjaga netralitas dalam Pemilu 2024.
Titi mengungkit pengalaman dalam Pilkada 2016. Kala itu, pilkada di 10 tempat pemungutan suara (TPS) Kabupaten Mamberamo Raya, Papua, harus diulang karena adanya campur tangan aparat.
"Ketika aparat tidak netral ongkosnya mahal sekali," kata Titi dalam diskusi LP3ES di Jakarta, dilansir pada Rabu, 27 Desember 2023.
Dia menjelaskan saat itu aparat polisi terbukti melakukan intimidasi kepada Kepala Kampung Fona agar memilih salah satu kandidat. Para warga diancam akan ditembak bila tidak memilih salah satu kandidat.
"Itu pilkada di beberapa TPS harus diulang karena ada keterlibatan aparat dalam hal ini Polri Brimob dalam proses pemungutan suara," kata Titi.
Titi mengingatkan bahaya dari aparat yang tidak netral dalam pemilu bisa merusak prinsip pemilu demokratis, yakni pemilu yang bebas, adil, dan setara.
"Merupakan tindakan sewenang-wenang yang melanggengkan/atau bisa membuat terus berlanjutnya kesewenang-wenangan dan penyimpangan di masa datang. Kesewenang-wenangan yang menjadi bibit laten bagi praktik pemilu," kata dia.
Titi menerangkan aparat yang tidak netral tak hanya merusak prinsip pemilu demokratis dan memberikan ketidakpuasan atas proses pemilu, namun juga berpotensi memunculkan konflik horisontal atau benturan antarpendukung.
Bahkan, dia menilai aparat yang tidak netral pada akhirnya turut memengaruhi kinerja pemerintah menjadi tak efektif, karena terus-menerus menghadapi isu legitimasi.
Titi berharap masyarakat sipil, akademisi, serta kelompok masyarakat dapat memperkuat konsolidasi untuk melaporkan pelanggaran terkait netralitas aparat.
Ancaman Kecurangan Pemilu
Dalam kesempatan yang sama, Ketua LP3ES Abdul Hamid menjelaskan pentingnya aparat netral dalam pemilu. Dia mendesak seluruh aparat memahami pemilu untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik.
"Kalau mereka tidak berkontribusi dalam menghadirkan pemilu yang lebih baik, dia berkontribusi dalam kemuncuran Indonesia," kata Abdul Hamid.
Hamid mendapatkan informasi ancaman yang muncul, yaitu 'curang perang'. Kalau ada kecurangan, akan ada perlawanan.
"Ini bahaya. Ini kita harus jadikan alarm bahaya. Kalau menjadi kesadaran publik, KPU dan aparat menjadi tanggung jawab yang besar," ucap dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((AZF))