Jakarta: Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menetapkan
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari melanggar etik usai meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon presiden pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan DKPP disebut tidak memiliki implikasi konstitusional dan hanya putusan etik.
Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid mengatakan dalam membaca putusan DKPP ini harus dilihat pada dua konteks yang berbeda. Pertama status konstitusional KPU sebagai subjek hukum yang diwajibkan
legal obligation untuk melaksanakan perintah pengadilan yaitu Putusan MK Nomor 90/PUU- XXI/2023 pada 16 Oktober 2023 sebagaimana mestinya.
"Kedua adalah bahwa dalam melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi "a quo" tindakan Para Teradu (KPU) dianggap tidak sesuai dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu, sehingga berkonsekwensi terjadi pelanggaran etik," jelas Fahri di Jakarta, Senin, 5 Februari 2024.
Ia menguraikan bahwa DKPP dalam pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah produk hukum yang mengikat bagi KPU selaku pemangku kepentingan. Hal ini didasarkan pada ketentuan norma Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditegaskan kembali dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, tanggal 18 Oktober 2012.
Fahri mengatakan bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, KPU selaku subjek hukum tata negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melaksanakan Putusan MK sebagaimana mestinya. Sehingga dengan demikian dari aspek hukum tata negara tindakan KPU menindaklanjuti Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam pencalonan peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 sudah sesuai.
Fahri Bachmid berpendapat bahwa dalam pertimbangan yuridis putusan DKPP mengatakan bahwa dalam melaksanakan Putusan MK, tindakan KPU selaku teradu tidak sejalan dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu.
"Artinya KPU seharusnya segera menyusun rancangan perubahan PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai tindaklanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, tetapi pada hakikatnya itu merupakan ranah etik yang tentunya dapat dinilai secara etik," jelas Fahri.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menilai putusan terhadap aduan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari tak berimplikasi pada pencalonan Gibran Rakabuming Raka. Karena, Hasyim diadukan terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memuluskan langkah Gibran jadi peserta Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
"Enggak ada kaitannya dengan pencalonan (Gibran) juga," kata Ketua DKPP Heddy Lugito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 5 Februari 2024.
Menurut Heddy, putusan DKPP dalam ranah penyelenggara pemilu yang diadukan. Dalam hal ini adalah Hasyim Asy'ari selaku terlapor.
"Ini murni soal etik penyelenggara pemilu. Jadi enggak ada kaitan," ucap Heddy.
Sebelumnya, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari dinyatakan melanggar kode etik ihwal proses pendaftaran capres-cawapres usai Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perubahan syarat batas usia peserta pilpres. Hasyim sebagai teradu satu terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu.
"Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim Asy’ari selaku teradu 1,” tegas Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito, Senin, 5 Februari 2024.
Heddy mengungkap Hasyim terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku dalam empat perkara, masing-masing dengan nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023, 136-PKE-DKPP/XII/2023, 141-PKE-DKPP/XII/2023 dan 137-PKE-DKPP/XII/2023.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((WHS))