Jakarta: Badan Pengawas Pemilu (
Bawaslu) dinilai tak mampu menindak tegas peserta
pemilu yang berpotensi melanggar aturan. Hal ini tercermin dari makin banyaknya praktik kecurangan dan
pelanggaran pemilu.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita menjelaskan situasi hari ini merupakan bukti nyata lemahnya peran pengawasan hingga ada upaya melemahkan kinerja Bawaslu yang muncul dari internal pengawas.
"Upaya untuk mencari keadilan melalui penegakan hukum tampak tumpul. Penyelenggara pemilu tampak tidak berkutik dalam menindak aktivitas potensi pelanggaran yang dilakukan oleh peserta pemilu," ungkap Nurlia, Jakarta, Rabu, 3 Januari 2023.
Dia menyoroti langkah Bawaslu dalam penanganan laporan terhadap kasus penertiban alat peraga kampanye (APK) di Batam. Bawaslu dinilai mengalami kemunduran dalam mengatur regulasi pemilu terkait penertiban APK.
Pada pelaksanaan Pemilu 2019, dalam menertibkan APK yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan berdasarkan Pasal 26 Perbawaslu Nomor 33 Tahun 2018, yang mengatur kewenangan Bawaslu dan jajarannya dalam menertibkan APK melalui mekanisme penanganan rekomendasi yang disampaikan ke Satpol PP.
"Nah, pasal ini di dalam Perbawaslu 11 Tahun 2023 tentang Pengawasan Kampanye dihapus mekanisme rekomendasi itu. Sedangkan yang diatur memiliki celah hukum yang tidak bisa ditindak kepada pelaku pemasangan APK. Karena pelanggaran APK masuk kategori pelanggaran administratif pemilu yang pihak terlapornya sangat terbatas hanya peserta pemilu dan KPU," jelas dia.
Di samping itu, tidak efektifnya penanganan APK melalui mekanisme pelanggaran administrasi pemilu. Sehingga, salah satu yang menyulitkan sekarang adalah jika yang memasang APK masyarakat biasa menjadi relawan, tidak terdaftar.
"Ini akan sulit ditertibkan APK dan praktiknya membuat bingung mekanisme penertibannya, apakah oleh Bawaslu atau Satpol PP," ujar dia.
Contoh lainnya terkait undangan klarifikasi kepada calon wakil presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, dalam penanganan dugaan pelanggaran pemilu. Bawaslu sudah mengatakan tidak ada pelanggaran pidana pemilu dalam kajiannya, namun Bawaslu Jakarta Pusat kemudian kembali memanggil Gibran dengan alasan ada fakta baru.
"Harusnya pada saat kajian itu juga disebutkan ada pelanggaran peraturan perundang-undangan lainnya. Nah ini kan seolah-olah menemukan fakta baru. Sangat keliru jika norma (aturan) dianggap fakta baru. Harusnya kajian yang pertama dilakukan kepada seluruh dimensi hukum yang dianggap melanggar. Kecuali bukti dan informasi baru terkait kronologis peristiwa, baru ranahnya fakta baru. Kalau norma ya bukan fakta baru," papar dia.
Dia menilai posisi ini sangat jelas menggambarkan lemahnya Bawaslu dalam melakukan penindakan. "Melihat kondisi realitas seperti ini pengawasan autentik akhirnya hanya dapat dilakukan oleh keikutsertaan partisipasi masyarakat dalam memantau pemilu. Tanpa hal tersebut, aspek penjagaan demokrasi elektoral justru makin lemah. maka pihak-pihak yang hendak membajak demokrasi justru menuai kesempatan," ujar dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((AZF))