Jakarta: Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) sudah merilis target penjualan sepeda motor di tahun 2025. Perjalanan di tahun 2025 tentu tidak mudah dan ada sejumlah hambatan yang siap menghadang penjualan sepeda motor.
Ketua Bidang Komersial AISI, Sigit Kumala, menjelaskan saat ini asosiasi sudah memproyeksikan target penjualan di tahun 2025 di kisaran 6,4 - 6,7 juta unit. Namun AISI melihat ada sejumlah tantangan yang menghadang sehingga perlu ada studi lebih lanjut untuk menetapkan target penjualan di tahun ini.
"Target semula 6,4 - 6,7 juta unit, tapi kami belum memperhitungkan dampak opsen, dan kami akan merevisi bilamana dampak opsen cukup signifikan terhadap sales, tunggu koreksinya setelah Feb 2025," beber Sigit melalui pesan singkatnya kepada Medcom.id.
Sigit menyebutkan, dikutip dari situs resmi AISI, penjualan sepeda motor di tahun ini diperkirakan bakal terdampak, seperti pasar mobil, dengan tingkat penurunan hingga 20 persen akibat pemberlakuan opsen atas Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) yang besarnya mencapai 66 persen.
Dalam simulasi perhitungan asosiasi, akan timbul kenaikan harga sepeda motor baru berkisar Rp800 ribu hingga Rp2 juta, tergantung jenis sepeda motor barunya. Kenaikan ini setara dengan kenaikan harga on the road sepeda motor baru sebesar 5 persen-7 persen, atau dua hingga tiga kali lebih besar dari inflasi.
“Konsumen sepeda motor sangat sensitif terhadap kenaikan harga. Opsen pajak bisa menaikkan harga motor di segmen entry level lebih dari Rp800 ribu. Segmen mid high bisa naik hingga Rp 2 juta. Inilah yang akan menekan permintaan padahal sepeda motor ini alat transportasi produktif yang paling dibutuhkan masyarakat di tengah daya beli yang sedang melemah,” ujat Sigit.
Daya Saing Melemah
Terkoreksinya penjualan di pasar domestik tentu akan menimbulkan dampak bergulir yang terjadi di sisi hulu maupun hilir dari industri sepeda motor di Tanah Air. Penurunan permintaan dari pasar akan memaksa produsen sepeda motor memangkas produksinya, sehingga ini akan berdampak pada permintaan mereka ke industri suku cadang yang berada di rantai bisnisnya.
Jika dampaknya sangat besar, tidak tertutup kemungkinan akan timbul PHK di industri ini. Dampak bergulir ini juga sangat potensial terjadi di rantai bisnis industri yang ada di sisi hilir, baik itu yang ada di sisi penjualan maupun layanan purna jual serta juga industri pembiayaan dan asuransi.
Kondisi pasar yang memberatkan konsumen dan pelaku industri ini berpotensi menekan daya saing industri di kancah ekonomi global, terutama di kawasan ASEAN. Pasalnya, dalam situasi persaingan yang sama, negara tetangga yang tercatat sebagai salah satu pasar otomotif yang sedang tumbuh di ASEAN, justru mempertahankan kebijakan pengurangan PPN dari 10 persen menjadi 8 persen hingga Juni 2025. Sementara itu, Indonesia menambahkan PPN menjadi 12 persen ditambah kenaikan PKB dan BBNKB dan pungutan tambahan pajak atau opsen.
“Jika ini semua diberlakukan dan dipertahankan dalam jangka panjang, kami khawatir daya saing industri kita melemah. Ini kurang positif untuk iklim investasi,” tegasnya.
Jakarta: Asosiasi Industri
Sepeda Motor Indonesia (
AISI) sudah merilis target penjualan sepeda motor di tahun 2025. Perjalanan di tahun 2025 tentu tidak mudah dan ada sejumlah hambatan yang siap menghadang penjualan sepeda motor.
Ketua Bidang Komersial AISI, Sigit Kumala, menjelaskan saat ini asosiasi sudah memproyeksikan target penjualan di tahun 2025 di kisaran 6,4 - 6,7 juta unit. Namun AISI melihat ada sejumlah tantangan yang menghadang sehingga perlu ada studi lebih lanjut untuk menetapkan target penjualan di tahun ini.
"Target semula 6,4 - 6,7 juta unit, tapi kami belum memperhitungkan dampak opsen, dan kami akan merevisi bilamana dampak opsen cukup signifikan terhadap sales, tunggu koreksinya setelah Feb 2025," beber Sigit melalui pesan singkatnya kepada Medcom.id.
Sigit menyebutkan, dikutip dari situs resmi AISI, penjualan sepeda motor di tahun ini diperkirakan bakal terdampak, seperti pasar mobil, dengan tingkat penurunan hingga 20 persen akibat pemberlakuan opsen atas Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) yang besarnya mencapai 66 persen.
Dalam simulasi perhitungan asosiasi, akan timbul kenaikan harga sepeda motor baru berkisar Rp800 ribu hingga Rp2 juta, tergantung jenis sepeda motor barunya. Kenaikan ini setara dengan kenaikan harga on the road sepeda motor baru sebesar 5 persen-7 persen, atau dua hingga tiga kali lebih besar dari inflasi.
“Konsumen sepeda motor sangat sensitif terhadap kenaikan harga. Opsen pajak bisa menaikkan harga motor di segmen entry level lebih dari Rp800 ribu. Segmen mid high bisa naik hingga Rp 2 juta. Inilah yang akan menekan permintaan padahal sepeda motor ini alat transportasi produktif yang paling dibutuhkan masyarakat di tengah daya beli yang sedang melemah,” ujat Sigit.
Daya Saing Melemah
Terkoreksinya penjualan di pasar domestik tentu akan menimbulkan dampak bergulir yang terjadi di sisi hulu maupun hilir dari industri sepeda motor di Tanah Air. Penurunan permintaan dari pasar akan memaksa produsen sepeda motor memangkas produksinya, sehingga ini akan berdampak pada permintaan mereka ke industri suku cadang yang berada di rantai bisnisnya.
Jika dampaknya sangat besar, tidak tertutup kemungkinan akan timbul PHK di industri ini. Dampak bergulir ini juga sangat potensial terjadi di rantai bisnis industri yang ada di sisi hilir, baik itu yang ada di sisi penjualan maupun layanan purna jual serta juga industri pembiayaan dan asuransi.
Kondisi pasar yang memberatkan konsumen dan pelaku industri ini berpotensi menekan daya saing industri di kancah ekonomi global, terutama di kawasan ASEAN. Pasalnya, dalam situasi persaingan yang sama, negara tetangga yang tercatat sebagai salah satu pasar otomotif yang sedang tumbuh di ASEAN, justru mempertahankan kebijakan pengurangan PPN dari 10 persen menjadi 8 persen hingga Juni 2025. Sementara itu, Indonesia menambahkan PPN menjadi 12 persen ditambah kenaikan PKB dan BBNKB dan pungutan tambahan pajak atau opsen.
“Jika ini semua diberlakukan dan dipertahankan dalam jangka panjang, kami khawatir daya saing industri kita melemah. Ini kurang positif untuk iklim investasi,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UDA)