Jakarta: Mobil listrik rakitan Indonesia dinilai masih menghadapi tantangan besar untuk bersaing di pasar Chile, meskipun sudah ada kemitraan dagang Indonesia-Chile Comprehensive Economic Partnership Agreement (IC-CEPA) yang memberikan tarif impor nol persen.
Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung, Yannes Martinus Pasaribu, menilai efisiensi produksi dan logistik masih menjadi kendala utama.
“Chile jelas lebih diuntungkan jika kirim langsung dari China atau Korea Selatan karena harga lebih murah, kapal lebih sering, pembiayaan sudah tersedia, dan layanan penjualan dan purnajual BEV China dan Korea di sana sudah teruji dalam perjalanan waktu yang lama,” kata Yannes kepada ANTARA.
Chile menargetkan setengah dari kendaraan baru yang dijual pada 2030 adalah kendaraan baterai listrik (BEV). Pemerintah setempat juga sudah menyiapkan insentif fiskal untuk mempercepat adopsi kendaraan ramah lingkungan tersebut.
Namun, mobil listrik yang dirakit di Indonesia masih menghadapi kendala karena sebagian besar komponen utama tetap diimpor dari China dan Korea Selatan.
Proses pengiriman komponen ke Indonesia, lalu perakitan dan ekspor kembali ke Chile, membuat biaya distribusi lebih tinggi dibandingkan pengiriman langsung dari negara produsen.
"Kalau bicara skala produksi, jelas di negara mereka (China dan Korea Selatan) sudah lebih canggih dan skalanya sudah lebih massal dan prosesnya jauh lebih efisien jika dibandingkan dengan produk mereka sendiri yang dirakit di Indonesia," jelas Yannes.
Meski begitu, peluang ekspor mobil listrik Indonesia ke Chile masih terbuka berkat IC-CEPA. Wakil Menteri Hubungan Ekonomi Internasional Chile, Claudia Sanhueza, mengatakan Indonesia memiliki keunggulan melalui kemitraan tersebut karena produk bisa masuk tanpa tarif impor.
Chile membutuhkan mobil listrik dalam jumlah besar, sementara harga kendaraan listrik di negara itu masih cukup mahal.
Jakarta: Mobil listrik rakitan Indonesia dinilai masih menghadapi tantangan besar untuk bersaing di pasar Chile, meskipun sudah ada kemitraan dagang Indonesia-Chile Comprehensive Economic Partnership Agreement (IC-CEPA) yang memberikan
tarif impor nol persen.
Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung, Yannes Martinus Pasaribu, menilai efisiensi produksi dan logistik masih menjadi kendala utama.
“Chile jelas lebih diuntungkan jika kirim langsung dari China atau Korea Selatan karena harga lebih murah, kapal lebih sering, pembiayaan sudah tersedia, dan layanan penjualan dan purnajual BEV China dan Korea di sana sudah teruji dalam perjalanan waktu yang lama,” kata Yannes kepada ANTARA.
Chile menargetkan setengah dari kendaraan baru yang dijual pada 2030 adalah kendaraan baterai listrik (BEV). Pemerintah setempat juga sudah menyiapkan insentif fiskal untuk mempercepat adopsi kendaraan ramah lingkungan tersebut.
Namun, mobil listrik yang dirakit di Indonesia masih menghadapi kendala karena sebagian besar komponen utama tetap diimpor dari China dan Korea Selatan.
Proses pengiriman komponen ke Indonesia, lalu perakitan dan ekspor kembali ke Chile, membuat biaya distribusi lebih tinggi dibandingkan pengiriman langsung dari negara produsen.
"Kalau bicara skala produksi, jelas di negara mereka (China dan Korea Selatan) sudah lebih canggih dan skalanya sudah lebih massal dan prosesnya jauh lebih efisien jika dibandingkan dengan produk mereka sendiri yang dirakit di Indonesia," jelas Yannes.
Meski begitu, peluang ekspor mobil listrik Indonesia ke Chile masih terbuka berkat IC-CEPA. Wakil Menteri Hubungan Ekonomi Internasional Chile, Claudia Sanhueza, mengatakan Indonesia memiliki keunggulan melalui kemitraan tersebut karena produk bisa masuk tanpa tarif impor.
Chile membutuhkan mobil listrik dalam jumlah besar, sementara harga kendaraan listrik di negara itu masih cukup mahal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UDA)