Jakarta: Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung, Yannes Martinus Pasaribu, menilai rencana pemerintah untuk mengganti sebagian besar sarana angkutan umum berbahan bakar minyak dengan kendaraan listrik bukan sekadar persoalan teknis.
Melainkan memerlukan strategi komprehensif dan komitmen politik jangka panjang. Pemerintah Indonesia menargetkan sebagian besar kendaraan umum massal sudah menggunakan tenaga listrik berbasis baterai pada tahun 2030.
Seluruhnya berbasis listrik secara penuh pada 2045. Langkah ini menjadi bagian dari strategi nasional untuk menurunkan emisi karbon dan menciptakan sistem transportasi yang berkelanjutan.
"Ini bukan sesederhana, tentang mimpi mengganti bus berbahan bakar fosil dengan bus listrik saja, tapi juga tentang membangun ekosistem baru yang mendukung, memastikan keberlanjutan finansial, dan meraih dukungan publik," kata Yannes saat dihubungi Antara.
Yannes menekankan keberhasilan program ini sangat bergantung pada komitmen politik yang kuat dari pemerintah. Tanpa hal itu, transisi energi untuk transportasi publik akan sulit terwujud.
"Karena ini adalah program yang government-driven, sehingga jika memang ingin berjalan sukses maka pemerintah harus menunjukkan komitmen politik yang kuat dan visi jangka panjang yang jelas," tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya komunikasi yang transparan kepada semua pemangku kepentingan, mulai dari operator transportasi, produsen kendaraan, hingga masyarakat umum.
Menurutnya, transparansi sangat diperlukan untuk membangun kepercayaan publik terhadap program elektrifikasi ini.
Yannes juga mengingatkan kejelasan dan konsistensi kebijakan akan menentukan keberhasilan program ini di mata investor dan pelaku industri. Tanpa kepastian regulasi, proses transisi bisa terhenti di tengah jalan.
"Konsistensi dalam kebijakan adalah kunci agar investor berani menanamkan modal dan operator merasa aman untuk bertransisi," kata Yannes.
Jakarta: Pengamat
otomotif dari
Institut Teknologi Bandung, Yannes Martinus Pasaribu, menilai rencana pemerintah untuk mengganti sebagian besar sarana
angkutan umum berbahan bakar minyak dengan kendaraan listrik bukan sekadar persoalan teknis.
Melainkan memerlukan strategi komprehensif dan komitmen politik jangka panjang. Pemerintah Indonesia menargetkan sebagian besar kendaraan umum massal sudah menggunakan tenaga listrik berbasis baterai pada tahun 2030.
Seluruhnya berbasis listrik secara penuh pada 2045. Langkah ini menjadi bagian dari strategi nasional untuk menurunkan emisi karbon dan menciptakan sistem transportasi yang berkelanjutan.
"Ini bukan sesederhana, tentang mimpi mengganti bus berbahan bakar fosil dengan bus listrik saja, tapi juga tentang membangun ekosistem baru yang mendukung, memastikan keberlanjutan finansial, dan meraih dukungan publik," kata Yannes saat dihubungi Antara.
Yannes menekankan keberhasilan program ini sangat bergantung pada komitmen politik yang kuat dari pemerintah. Tanpa hal itu, transisi energi untuk transportasi publik akan sulit terwujud.
"Karena ini adalah program yang government-driven, sehingga jika memang ingin berjalan sukses maka pemerintah harus menunjukkan komitmen politik yang kuat dan visi jangka panjang yang jelas," tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya komunikasi yang transparan kepada semua pemangku kepentingan, mulai dari operator transportasi, produsen kendaraan, hingga masyarakat umum.
Menurutnya, transparansi sangat diperlukan untuk membangun kepercayaan publik terhadap program elektrifikasi ini.
Yannes juga mengingatkan kejelasan dan konsistensi kebijakan akan menentukan keberhasilan program ini di mata investor dan pelaku industri. Tanpa kepastian regulasi, proses transisi bisa terhenti di tengah jalan.
"Konsistensi dalam kebijakan adalah kunci agar investor berani menanamkan modal dan operator merasa aman untuk bertransisi," kata Yannes.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UDA)