Pameran Wuling Motors di Central Park Jakarta. Wuling Motors
Pameran Wuling Motors di Central Park Jakarta. Wuling Motors

Riset ID COMM: Adopsi Mobil Listrik RI Masih Dikuasai Early Adopter

Ekawan Raharja • 13 Desember 2025 16:40
Jakarta: Adopsi mobil listrik di Indonesia saat ini masih berada di fase awal. Pasar didominasi kelompok early adopter dan sebagian early majority, yakni konsumen yang siap menjadi pelopor dan berani mengambil risiko terhadap inovasi baru. Kondisi ini menunjukkan penerimaan masyarakat luas masih terbatas dan membutuhkan dorongan kebijakan serta ekosistem yang lebih solid agar pasar dapat naik kelas.
 
Temuan tersebut merupakan hasil riset ID COMM, firma public relations berbasis isu Sustainable Development Goals (SDGs), yang diluncurkan Kamis (11/12) di Jakarta. Riset dilakukan melalui wawancara dengan konsumen, pelaku industri, dan media, serta analisis kebijakan dan regulasi kendaraan listrik di Indonesia.
 
Dengan judul 'Menuju Era Mobil Listrik: Sejauh Mana Indonesia Siap', riset ini memetakan hambatan sekaligus peluang adopsi mobil listrik sebagai masukan strategis bagi para pemangku kepentingan. Saat ini, adopsi mobil listrik masih didorong motif ekonomi, terutama efisiensi biaya operasional dan insentif fiskal. Penggunanya pun didominasi kelompok menengah atas di wilayah urban yang sebelumnya telah memiliki mobil berbahan bakar fosil.

“Transisi ini lebih menunjukkan pergeseran perilaku daripada perluasan pasar baru. Informasi ini penting untuk diketahui berbagai pihak terkait sektor otomotif,” menurut Co-Founder dan Director ID COMM, Asti Putri, melalui keterangan resminya.
 
Baca Juga: Geely Auto Kerja Sama dengan Wonder Group, Buka 3 Dealer Baru
 
Pemerintah menargetkan populasi mobil listrik mencapai 2 juta unit pada 2030 sebagai bagian dari transisi energi nasional. Dari sisi pasar, tren menunjukkan akselerasi.
 
Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) mencatat penjualan Battery Electric Vehicle (BEV) meningkat dari 15.318 unit pada 2023 menjadi 43.188 unit pada 2024, dan menembus 51.191 unit hanya dalam delapan bulan pertama 2025.

Kebijakan Menuju Ekosistem Terintegrasi

Kebijakan kendaraan listrik di Indonesia mulai terstruktur sejak diterbitkannya Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. Regulasi ini menjadi fondasi awal yang kemudian diperkuat oleh berbagai aturan turunan di tingkat kementerian hingga pemerintah daerah.
 
Secara garis besar, kebijakan tersebut bertujuan mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan menekan emisi gas rumah kaca. Tim riset ID COMM juga memetakan kebijakan di sepanjang rantai pasok industri mobil listrik, mulai dari penambangan bahan baku, produksi, hingga daur ulang komponen.
 
Baca Juga: Harga OTR Jakarta Piaggio Liberty S 2025
 
Keseluruhan regulasi dirancang untuk membangun sistem kendaraan listrik yang terintegrasi dari hulu ke hilir, mencakup aspek fiskal, industri, infrastruktur, hingga pengelolaan akhir masa pakai.
 
“Kebijakan menjadi simpul yang menghubungkan pemerintah, swasta, dan masyarakat, sehingga tidak hanya berperan sebagai alat pengatur, tetapi juga katalis yang mendorong kolaborasi lintas sektor untuk menghadirkan solusi yang adaptif bagi kebutuhan sosial dan ekonomi,” menurut Research Associate ID COMM, Inu Machfud.

Faktor Ekonomi Masih Jadi Game Changer

Dari perspektif konsumen, faktor ekonomi menjadi penentu utama dalam keputusan membeli mobil listrik. Biaya operasional yang lebih hemat menjadi daya tarik, terutama bagi konsumen dengan mobilitas tinggi. Insentif pajak juga memperkuat minat, mengingat pajak tahunan mobil listrik hanya sekitar Rp150.000.
 
Selain itu, faktor psikologis turut berperan. Pemilik mobil listrik merasa bangga menjadi bagian dari early adopter, berperan sebagai trend setter, dan diasosiasikan dengan gaya hidup modern. Sementara aspek lingkungan masih diposisikan sebagai nilai tambah, bukan faktor utama.
 
Baca Juga: BMW & MINI Buka Dealer di Bekasi, Jual Sportcar M
 
Proses pengambilan keputusan pembelian dinilai tidak jauh berbeda dengan mobil konvensional. Lingkungan sosial, media sosial, serta influencer otomotif menjadi referensi awal, mulai dari ulasan produk hingga perbandingan merek.
 
Riset ini juga mencatat bahwa seluruh responden pemilik mobil listrik telah memiliki mobil konvensional sebelumnya. Mobil listrik belum menjadi kendaraan pertama, dengan rentang harga Rp189 juta hingga Rp1,58 miliar. Hal ini menegaskan bahwa segmen pengguna masih terkonsentrasi di kelas menengah atas.
 
Dari sisi usia, pengguna mobil listrik terbagi dalam tiga kelompok utama: usia 25–35 tahun yang sedang membangun karier, usia 36–50 tahun yang sudah mapan secara ekonomi dan keluarga, serta usia di atas 50 tahun yang menginginkan mobilitas nyaman dengan biaya operasional rendah, terutama menjelang masa pensiun.

Industri Masih Wait and See

Pelaku industri otomotif dinilai responsif terhadap peluang pasar, namun tetap berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi. Kejelasan proyeksi permintaan dari pemerintah menjadi faktor krusial sebelum menyusun peta jalan jangka panjang.
 
Sebagian besar pelaku industri masih berada pada fase wait and see, merespons dinamika kebijakan, ketatnya perang harga, serta ketidakpastian arah pasar. Dua tahun pertama pertumbuhan mobil listrik dinilai lebih menyerupai fase survival dan pembelajaran kolektif dibandingkan periode stabilisasi.
 
Saat ini, persaingan industri memasuki fase price–performance war yang dipimpin produsen asal Tiongkok dengan efisiensi rantai pasok dan strategi harga agresif. Di sisi lain, produsen menghadapi tekanan margin, siklus model yang semakin pendek, serta ketidakpastian insentif.
 
Riset ini juga menemukan adanya indikasi kanibalisme pasar. Pertumbuhan mobil listrik lebih mencerminkan perpindahan konsumen dari mobil ICE ke mobil listrik, bukan penambahan pembeli baru, terlihat dari lonjakan penjualan mobil listrik saat total penjualan mobil nasional justru menurun.
 
Peran Media dalam Transisi
Dalam ekosistem mobil listrik, media dinilai berperan strategis sebagai penyedia informasi yang berimbang dan kredibel. Media tidak hanya memperluas jangkauan informasi, tetapi juga membangun kepercayaan publik dengan menjembatani bahasa kebijakan dan bahasa masyarakat.
 
“Diharapkan, narasi media seharusnya tidak hanya berfokus pada kemajuan teknologi, tetapi juga menyertakan perspektif kritis sebagai bentuk edukasi dan mitigasi risiko publik,” ungkap Research Associate ID COMM, Claudius Surya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UDA)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan