Jakarta: Pemerintah Indonesia berupaya untuk mengembangkan ekosistem mobil listrik dan diharapkan masyarakat beralih menggunakan kendaraan ramah lingkungan tersebut. Sayangnya, cita-cita ini terhambat karena harga mobil listrik sekarang tergolong mahal.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo). menilai harga mobil listrik murni (battery electric vehicle-BEV) masih tergolong mahal karena mencapai Rp600 juta. Padahal, daya belu masyarakat Indonesia untuk mobil masih di bawah Rp 300 juta. Itu artinya, ada selisih Rp 300 juta yang harus dipersempit untuk mendongkrak penjualan mobil listrik
“PDB per kapita Indonesia saat ini masih di kisaran US $ 4.000, sehingga daya beli masyarakat untuk mobil masih di bawah Rp 300 juta,” kata Ketua V Gaikindo, Shodiq Wicaksono, melalui jumpa pers virtual.
Mahalnya harga mobil listrik ini membuat penetrasi mobil listrik di Indonesia masih relatif rendah, belum mencapai 1 persen dari total pasar.
Berdasarkan data Gaikindo, per September 2021, penjualan BEV mencapai 611 unit, hanya 0,1 persen dari total pasar, sedangkan plug-in hybrid terjual 44 unit, dan penjualan hybrid mencapai 1.737 unit atau 0,3 persen.
Tantangan Lain Pertumbuhan Ekosistem Mobil Listrik
Tantangan lain, Shodiq Wicaksono melanjutkan, infrastruktur pengecasan baterai mobil listrik masih terbatas. Adapun dari sisi industri, mobil listrik yang dipasarkan saat ini masih diimpor dalam keadaan utuh, belum dirakit atau dibuat di Indonesia.
Kemudian, kata dia, industri komponen utama baterai masih dalam proses pembangunan diperkirakan baru mulai berproduksi pada tahun 2024. Kesiapan konsumen untuk mengadopsi kendaraan dengan teknologi baru ini.
“Nilai jual kembali mobil listrik juga menjadi tantangan, selain harga baterai masih mahal, yakni 40-60 persen dari harga kendaraan listrik. Selanjutnya, terwujudnya mobil listrik perlu terintegrasi dengan eco industry, penelitian dan pengembangan, serta industri komponen pendukung,” kata dia.
Seiring dengan itu, dia menyatakan, perlu adanya transisi teknologi untuk mengurangi dampak perubahan struktur industri sebelum terjadi industrialisasi komponen BEV, seperti baterai, PCU/inverter, dan lain-lain. Tujuannya agar BEV dapat berkontribusi terhadap perekonomian nasional dan menyerap tenaga kerja baru.
“Saya kita pengalihan teknologi kendaraan berbasis motor ke kendaraan listrik sebaiknya berjalan secara alami. Hal penting adalah tingkat permintaan pasar yang tepat sangat penting untuk mencapai skala ekonomi.”
Jakarta: Pemerintah Indonesia berupaya untuk mengembangkan ekosistem
mobil listrik dan diharapkan masyarakat beralih menggunakan kendaraan ramah lingkungan tersebut. Sayangnya, cita-cita ini terhambat karena harga mobil listrik sekarang tergolong mahal.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (
Gaikindo). menilai harga mobil listrik murni (battery electric vehicle-BEV) masih tergolong mahal karena mencapai Rp600 juta. Padahal, daya belu masyarakat Indonesia untuk mobil masih di bawah Rp 300 juta. Itu artinya, ada selisih Rp 300 juta yang harus dipersempit untuk mendongkrak penjualan mobil listrik
“PDB per kapita Indonesia saat ini masih di kisaran US $ 4.000, sehingga daya beli masyarakat untuk mobil masih di bawah Rp 300 juta,” kata Ketua V Gaikindo, Shodiq Wicaksono, melalui jumpa pers virtual.
Mahalnya harga mobil listrik ini membuat penetrasi mobil listrik di Indonesia masih relatif rendah, belum mencapai 1 persen dari total pasar.
Berdasarkan data
Gaikindo, per September 2021, penjualan BEV mencapai 611 unit, hanya 0,1 persen dari total pasar, sedangkan plug-in hybrid terjual 44 unit, dan penjualan hybrid mencapai 1.737 unit atau 0,3 persen.